English English Indonesian Indonesian
oleh

Error In Persona, Bopeng Penegakan Hukum

Oleh: Saharuddin Daming*

Dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti segala bentuk penyelenggaraan kekuasaan negara termasuk penegakan hukum, selain harus mengacu pada prosedur hukum, juga harus bersandarkan pada prinsip keadilan, kepatutan, kecermatan, kehati-hatian, profesionalisme, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap HAM.

Sayang, karena pada berbagai kesempatan, upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak yang diberi kewenangan untuk itu ternyata tidak selalu terselenggara berdasarkan due process of law. Kadang-kadang dalam proses penegakan hukum, ada saja oknum aparat penegak hukum melanggar prinsip kecermatan, kehati-hatian, dan profesionalisme.

Salah satu kasus yang kini menjadi sorotan publik sebagai bentuk nonprofesionalisme penegakan hukum adalah error in persona (EIP) yang dialami Oman, di Balaraja, Banten. Ia tiba-tiba ditangkap oleh anggota kepolisian dan dibawa ke Polres Lampung Utara. Oman dijemput paksa karena dituduh terlibat dalam kasus perampokan di kediaman Budi Yuswo Santoso, di Dusun V Dorowati, Lampung Utara, 22/8/2017.

Proses penangkapannya tidak hanya mencakup tindakan fisik, tetapi juga tekanan psikologis. Oman dipaksa untuk mengakui keterlibatan dalam suatu kasus yang tak pernah ia lakukan. Tindakan kekerasan yang dialami Oman, mencerminkan masih suburnya sikap arogansi aparat penegak hukum, yang seharusnya bertindak sesuai dengan prinsip keadilan dan HAM.

Pengakuan yang dipaksakan kepada terperiksa, menunjukan aparat masih menganut sistem kolonialisme dalam HIR. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap Oman, melanggar Pasal 10 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 dan Pasal 13 Ayat 1 huruf e dan Pasal 15 huruf e Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.

News Feed