English English Indonesian Indonesian
oleh

Ketimpangan Hukum Internasional

Oleh: Saharuddin Daming*

Sejak manusia memasuki peradaban maju, ditandai dengan interaksi antarnegara, muncullah hukum internasional (HI) sebagai instrumen mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia melalui kerja sama antarbangsa.

Sayangnya, karena cita-cita luhur tersebut tampaknya hanya sekadar ilusi kalau bukan pepesan kosong belaka. Betapa tidak, karena peran dan kontribusi HI dewasa ini makin mengalami pembiasan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Fenomena ini tercermin dalam berbagai aspek, mulai dari ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum antara negara-negara kuat dan lemah, hingga ketidakmampuan sistem HI untuk mengatasi permasalahan global dengan adil dan efektif.

Seluruh mekanisme dan institusi yang tertuang dalam HI didominasi oleh negara-negara besar yang senantiasa menonjolkan aspek kepentingan nasional mereka masing-masing. Negara-negara berkembang umumnya tidak memiliki sumber daya atau dukungan yang cukup untuk memperjuangkan kepentingan mereka di tingkat internasional. 

Berkaca pada fenomena ketimpangan HI seperti ini, tidak heran jika filosof kenamaan Inggris, John Austin, lantang menyebut HI bukanlah hukum, tetapi hanya sekadar moralitas positif internasional. Pandangan Austin makin nyata dengan konflik Israel versus Palestina. Selain tak mampu mencegah tragedi kemanusiaan, apalagi membawa pemimpin Zionis ke ICC sebagai penjahat perang.

Seluruh kekuatan internasional di bawah PBB juga mengalami kelumpuhan lantaran tak mampu menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi rakyat Palestina akibat blokade permanen Israel. Ironisnya lagi, karena Dewan Keamanan PBB yang diberi mandat untuk membuat keputusan internasional dalam menyelesaikan pertikaian, ternyata justru semuanya gagal karena sengaja digagalkan oleh negara pemegang hak veto, khususnya AS yang rela mengorbankan apa saja demi membela Israel sebagai soulmate beratnya.

News Feed