English English Indonesian Indonesian
oleh

Kala Etika Bernegara Tersingkir

Sungguh, penyikapan pertimbangan legalitas tanpa etika itu, telah berefek domino pada proses penyelenggaraan tahapan pemilu selanjutnya. Misalnya, terjadi mobilisasi untuk dukungan politik terhadap Gibran oleh aparatur desa se-Indonesia, dianggap tidak melanggar karena secara definisi aturan, belum memenuhi unsur kampanye, karena terjadi saat belum memasuki jadwal kampanye.

Juga terjadi bagi-bagi uang secara masif dan susu, tetapi dianggap tidak memenuhi unsur pelanggaran. Meskipun, secara akal sehat dan nurani yang jernih,  aksi tersebut jelas telah menggelitik rasa etika itu sendiri.

Terakhir, Menko Polhukam Mahfud MD buka suara mengenai adanya oknum Satpol PP di Garut, Jawa Barat, yang mendeklarasi dukungan kepada Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka. Mahfud mengatakan, dukungan semacam itu dari aparat merupakan pelanggaran kode etik.

Akan tetapi, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebut deklarasi dukungan terhadap Gibran oleh Satpol Pamong Praja (PP) di Garut bukan sebuah pelanggaran. Lantaran, kata Moeldoko, status Satpol PP belum jelas sebagai pegawai pemerintah (Metro TV News. Com, 4/1/2024).

Pernyataan yang bertentangan dari kedua pimpinan lembaga negara tersebut, tentu membuat publik  kebingungan. Bahwa persoalan pelanggaran etik di tubuh pemerintah pada tahun politik saat ini, memang telah menjadi masalah krusial.

Filsuf  dan ilmuwan mulai dari Aristoteles, Immanuel Kant, hingga John Rawls, telah mengingatkan konsekuensi dari pelanggaran etika politik suatu pemerintahan, karena akibatnya, justru kelak mencelakakan negara itu sendiri akibat pemerintahnya telah dibutakan dari melihat etika yang merefleksikan nurani daripada rakyat itu sendiri. Wallahualam bissawab. (zuk)

News Feed