English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu vs Pemerintah: Ritual Adat Mattompang Arajang sebagai Medan Pertarungan Kuasa

Beberapa potongan percakapan saya bersama Budayawan di Bone tersebut melukiskan betapa penting dan sakralnya posisi bissu di masa lampau. Pelantikan Raja tidak akan sah ketika bissu tidak hadir. Namun, Hari Jadi Bone ke-692 seperti yang telah kita lihat bersama para bissu tidak tampil pada rangkaian proses mattompang arajang. Budaya tidak lagi dapat dilihat sebagaimana apa yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (semua sistem ide, gagasan, rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang nantinya dijadikan klaim manusia dengan cara belajar) tetapi budaya sebagai medan pertarungan kuasa (penguasa vs yang dikuasai). Seperti yang tertulis pada beberapa tulisan di portal online beberapa hari terakhir bahwa bissu telah berusaha untuk tetap bisa dilibatkan pada prosesi ritual adat mattompang arajang, tetapi pemerintah tidak lagi berpihak kepada mereka dengan alasan yang tidak jelas.

Lebih lanjut pemaparan Puang Matowa Bissu Bone dalam dialog publik yang dituliskan oleh Jessy Ismoyo (2021) bahwa para bissu tidak pernah menolak untuk hadir, bissu menolak jika mereka tidak diperbolehkan mengikuti seluruh rangkaian ritual adat. Bissu telah melakukan setidaknya tiga kali pertemuan dengan pemerintah, “berkomunikasi-bernegosiasi” bahkan bersepakat untuk tidak menampilkan sere’ bissu serta ma’giri’ dan juga menawarkan untuk mengganti baju bodo dengan pakaian lain yang lebih maskulin. Namun apa yang terjadi, bissu tetap tidak dapat menjalankan perannya sebagai penjaga dan pemelihara benda pusaka peninggalan kerajaan Bone. Tahun ini, bissu tidak lagi memegang teddung pulaweng (payung emas), sembangeng pulaweng (selempang emas), La tea riduni (kalewang), La salaga (tombak), Alameng tatarapeng (senjata adat tujuh atau Ade’ Pitu).

News Feed