English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu vs Pemerintah: Ritual Adat Mattompang Arajang sebagai Medan Pertarungan Kuasa

Oleh: Asrul Nur Iman, Pengajar di FISIP UPRI Makassar

“Pada acara mattompang itu harus ada bissu-nya, jadi pada Hari Jadi Bone-pada acara mattompang itu harus ada bissu” kata salah satu orang Budayawan di Bone beberapa tahun silam pada saat saya berbincang di kediamannya.

“Peranan bissu itu ditarik ke Saoraja untuk memelihara benda-benda pusaka kerajaan, mempertahankan upacara tradisi, sehingga kalau terdapat upacara-upacara tradisi mereka akan tinggal di Saoraja – peranannya sebagai penghulu agama sudah tidak berperan lagi karena sudah masuk Islam” lanjut Budayawan tersebut kepada saya.

Tahun ini terlihat sesuatu yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, bissu tidak lagi tampil pada saat ritual adat mattompang arajang. Menurut saya perhelatan adat tahun ini mengubah naskah sejarah yang telah ada. Puang Matowa Bissu Bone tidak lagi terlihat pada seluruh rangkaian ritual adat mattompang arajang yang dimulai dari prosesi meminta izin kepada pimpinan raja yang dalam hal ini Bapak Bupati Bone, prosesi mallekke toja (pengambilan air suci), mappaota (mempersembahkan sekapur sirih di depan arajang) hingga prosesi masossoro arajang (mattompang) dilakukan. Bissu tidak lagi terlihat mengeluarkan dan memasukkan benda-benda pusaka peninggalan kerajaan Bone.

Pada masa lampau para bissu tidak hanya bertugas pada saat prosesi ritual adat mattompang arajang, tetapi mereka juga menjadi aktor utama dalam seluruh daur hidup (life cycle) kehidupan manusia Bugis pada kalangan bangsawan. Para bissu harus hadir pada saat pelantikan raja, “Jadi, setiap Raja Bone itu punya bissu, karena pada pelantikan Raja Bone tidak boleh tidak ada bissu-nya, cacat!”, pendapat Budayawan di Bone. “Kalau na sere’i bissu na alu’-alu’ maujangka, diampo’i benno oleh para bissu barulah pelantikan raja tersebut sah,” Budayawan yang sama tersebut melanjutkan penjelasannya kepada saya.

News Feed