English English Indonesian Indonesian
oleh

Rezim yang Ambigu dan Problem Lingkungan di Indonesia

Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin,  Pembelajar di Pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Hidup Unhas

Permasalahan lingkungan hidup, telah mendapat perhatian besar di hampir semua negara. Ini terutama terjadi sejak dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972.

Hari pembukaan konferensi tanggal 5 Juni ketika itu, akhirnya disepakati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Sesungguhnya, permasalahan lingkungan bukanlah hal yang baru, terlebih bila kita meninjaunya secara luas. Lagi pula bumi kita tidaklah statis, melainkan dinamis dan terus menerus mengalami perubahan. Kini pun perubahan itu masih terus berlangsung. Dan perubahan yang besar dalam lingkungan hidup akan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup. Yang baru dalam permasalahan lingkungan hidup ialah cara manusia berperilaku dan memberi pemaknaan pada lingkungan serta begitu cepatnya informasi tersebar tentang permasalahan lingkungan.

Saat ini, dunia dihadapkan pada ancaman bencana sebagai dampak dari perubahan iklim. Fenomena Perubahan Iklim (Climate Change) telah dipandang sebagai masalah global lingkungan hidup yang telah banyak menyita perhatian dunia, termasuk pada skala nasional dalam negeri kita. Berbagai perundingan dunia telah dilakukan dalam rangka menangani dan mengantisipasi dampak yang timbul di mana berpotensi mengganggu keberadaan Sumber Daya Alam (SDA) serta pendukung kehidupan umat manusia secara keseluruhan (commons). Karena, telah menjadi problem global lingkungan, maka diperlukan kebijakan atau rezim yang bersifat global pula. Diawali dari Konvensi Kerangka Kerja PBB 1991 sampai Perjanjian Paris pada Desember 2015, lalu diikuti dengan pertemuan-pertemuan lanjutan hingga kini.

Dalam perjalanan berbagai rezim atau kebijakan yang telah dirumuskan dan dilahirkan pada tingkat global, tampaknya kedudukan dan posisi negara-negara maju, masih sangat terlihat dominan. Sehingga, tidak jarang kesepakatan dari sebuah kebijakan yang dibicarakan, mesti tertunda serta ditangguhkan implementasinya, disebabkan adanya tarik ulur kepentingan negara-negara maju tersebut. Hal ini sekaligus menjadi penjelas dari salah satu karakteristik politik lingkungan global yang menyatakan bahwa kekuatan ekonomi suatu negara dapat memengaruhi posisinya, demikian halnya dengan hasil dari politik tarik-ulur dalam persetujuan internasional tentang lingkungan.

Di samping itu, sikap dari negara-negara maju tersebut, terkadang seperti setengah hati dalam memikirkan kelangsungan bumi dan lingkungan global yang lestari. Sebab, seringkali masih lebih mementingkan kondisi ekonomi dan politik dalam negeri mereka. Padahal, bila kita cermati, berbagai persoalan dan ancaman kerusakan lingkungan secara global, mulanya bersumber dari negara-negara maju yang pengembangan industrinya sangat pesat. Fenomena ini juga merupakan sebuah indikator nyata bahwa lemahnya bargaining position pemerintahan negara berkembang terhadap kapitalisme global, turut andil memperparah krisis lingkungan.

Perubahan iklim telah menjadi fenomena global. Kajian mengenai ancaman akibat dampak perubahan iklim pun terus berkembang dengan cepat di tingkat internasional. Namun demikian, dalam kerangka regulasi kebencanaan Indonesia, UU. Nomor 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan dan PP Nomor 21 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, rasanya masih minim berbicara mengenai aspek perubahan iklim secara spesifik. Padahal, faktor ini sudah merupakan bahaya besar, yang setiap waktu bisa mengancam kehidupan masyarakat. Cuaca ekstrem yang kita rasakan belakangan ini, menjadi tanda dari perubahan iklim, yang telah menjadi fakta nyata dengan frekuensi yang kian meningkat. Dampak yang paling dekat, adalah semakin seringnya terjadi banjir dan kekeringan di berbagai daerah di Tanah Air.

BNPB pernah menyebutkan, selama 20 tahun terakhir, 98% kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis. Bencana hidrometeorologis khususnya banjir, longsor dan banjir bandang, kini silih berganti terjadi di berbagai daerah dalam beberapa bulan terakhir di tanah air. Ironisnya, kejadian serupa seakan sudah menjadi rutinitas tahunan. Lantas, apakah rentetan kejadian tersebut mengejutkan kita? Rasanya tidak lagi. Yang justru mengejutkan, jika masih ada yang kaget dengan bencana tahunan tersebut. Soalnya, sudah menjadi ‘kelaziman’ di negeri kita selama ini, sebagai konsekuensi logis dari rusak parahnya ekologi dan lingkungan kita dalam waktu yang sudah begitu lama.

Negeri ini, memang memiliki wilayah yang sangat rentan dengan bencana. Global Climate Risk Index 2023 menempatkan Indonesia dalam rangking dua dunia untuk risiko bencana. Naik dari posisi ketiga dibanding tahun 2021. Olehnya itu, pemerintah daerah mesti lebih serius dan waspada untuk melakukan langkah pencegahan dan mitigasi terhadap peningkatan potensi bencana hidrometeorologi, khususnya banjir, longsor dan banjir bandang. Bencana tersebut, umumnya terjadi karena degradasi ekologis dan lingkungan, di mana kerusakan diakibatkan oleh aktivitas eksploitasi yang tak terkendali, seperti alih fungsi lahan, deforestasi dan lain-lainnya, Apakah ini contoh ecological suicide yang yang diujarkan JO Simmonds? Prof. Eko Budihardjo mendaku, karena tokoh-tokoh yang notabene dipercaya rakyat untuk mengelola daerah dan wilayahnya justru yang “melukai” dan “membunuh”nya dengan berbagai kebijakan yang merusak keseimbangan, antara alam, manusia dan lingkungan binaan. Para pemimpin yang seharusnya bertugas menjaga kelestarian alam dan lingkungan, malahan mereka yang merusaknya.

Keberlanjutan sebatas retorika

Pada sisi lain, belum diterapkannya pembangunan berkelanjutan yang pro-lingkungan dalam negeri Indonesia, berdampak pada rusaknya lingkungan sebagai sebuah ekosistem. Hal ini terutama terjadi pada beberapa sektor strategis, seperti; kehutanan, pertanian, perikanan, kelautan serta pertambangan. Padahal, pembangunan Indonesia masa depan, sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa ini mengelola sumber daya alam dan lingkungannya. Sementara, rezim lingkungan yang ambigu makin terasa. Kasus terbongkarnya tambang timah ilegal di Pulau Bangka baru-baru ini, dengan kerugian kerusakan lingkungan mencapai Rp. 271 Triliun, hanya salah satu fakta saja yang menegaskan hal ini.

Prof. Oekan S. Abdoellah, Ph.D dalam buku Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia: Di Persimpangan Jalan, menguraikan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan yang dijadikan alternatif sebagai solusi problem lingkungan, justru oleh sebagian pengamat dan pemikir melihat kecenderungannya, belum nyata-nyata menjadi pilar sesungguhnya dari pembangunan global, lebih khusus lagi di Dunia Ketiga. “Pembangunan Berkelanjutan” masih berada pada taraf retorika semata yang kadangkala menjadi alat yang dimanfaatkan untuk membenarkan kebijakan-kebijakan sepihak yang “dipaksakan” negara-negara Dunia Pertama kepada Pemerintahan negara-negara Dunia Ketiga dalam konteks penguasaan akses ekonomi dan pembagian kerja kapitalis global (lihat Robin Attfield – The Ethics of the Global Environment dan Otto Soemarwoto – Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realita). Oleh karena itu, paradigma pembangunan yang mesti digagas ke depannya, adalah paradigma yang bukan hanya semata memikirkan keberlanjutan, namun juga yang sangat penting ditekankan adalah aspek kesetaraan dan keadilan, baik di tingkat global maupun nasional. Dengan kata lain, yang urgen digaungkan sebagai alternatif pemikiran dan pandangan ialah “Paradigma Pembangunan Yang Berkesinambungan dan Berkeadilan.”

Karena itu, Dr. Mansour Fakih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, berpendapat bahwa developmentalisme sejak diciptakan juga telah menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup. Jalan keluar yang ditawarkan berupa pembangunan berkelanjutan, tidak begitu memuaskan karena bertentangan dengan ide pertumbuhan dan keuntungan yang melekat pada dasar ideologinya. Akibatnya, developmentalisme akan menjadi bagian dari masalah lingkungan hidup daripada sebagai jalan keluar.

Dengan demikian, ungkapan Fritjof Capra pada Titik Balik Peradaban, boleh jadi ada benarnya, bahwa kesadaran ekologis akan tumbuh hanya jika kita memadukan pengetahuan rasional kita dengan intuisi, untuk hakikat lingkungan kita yang nonlinear. Kearifan intuitif semacam itu, merupakan ciri dari kebudayaan-kebudayaan tradisional, di mana kehidupan ditata berdasarkan kesadaran lingkungan yang sedemikian halus. Sebaliknya, dalam alur kebudayaan modern, penggalian kearifan intuitif telah lama diabaikan atau bahkan dihapuskan sama sekali.

Political will pemerintah dalam mengarusutamakan lingkungan hidup sepertinya masih sangat rendah. Akibatnya, bencana terus saja melanda seolah tanpa henti. Dari berbagai kondisi di atas, maka komitmen dan keseriusan dalam mengimplementasikan berbagai rezim lingkungan, masih perlu untuk ditingkatkan. Kesadaran kolektif pada perlindungan dan pelestarian lingkungan, mesti terus ditumbuhkan oleh setiap elemen masyarakat, agar bumi kita bisa terus terjaga dan dapat dihuni oleh seluruh makhluk ciptaan Tuhan secara nyaman. Semoga saja ada perbaikan di waktu mendatang!

“Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.”(QS. Al-A’raf: 10). (*)

News Feed