English English Indonesian Indonesian
oleh

Politik Demonisasi

Oleh: Saharuddin Daming

Pemilihan Presiden Amerika Serikat 8 November 2016 merupakan salah satu pemilihan yang paling kontroversial dan penuh dramatis dalam sejarah politik modern. Donald Trump, seorang pengusaha dan tokoh televisi terkenal, sebagai calon yang diusung oleh Partai Republik, dinyatakan sebagai pemenang mengalahkan Hillary Clinton, istri mantan Presiden AS ke-42: Bill Clinton, dari Partai Demokrat.

Hebatnya, karena Hillary sebagai rival politik utamanya, langsung mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada Trump atas kemenangannya dan meminta pendukungnya agar menerima hasil pemilu serta memberi kesempatan kepada Trump untuk memimpin AS.
Tindakan Hillary ini mendapat banyak pujian karena menunjukkan sikap dewasa dan kematangan politik. Meski pemilihan tersebut sangat sengit dan penuh kontroversi. Betapa tidak, karena kemenangan Trump itu diwarnai dengan tuduhan kecurangan antara lain:

  1. Sebelum dan sesudah pemilu, terdapat tuduhan bahwa pemerintah Rusia telah memengaruhi hasil pemilu AS melalui serangan siber dan kampanye informasi yang dimaksudkan untuk merusak kampanye Hillary Clinton dan mendukung Trump.
  2. Selama kampanye, ratusan ribu email yang berasal dari akun milik tim kampanye Hillary Clinton dan Partai Demokrat dibocorkan ke situs WikiLeaks. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk merusak kampanye Clinton.
  3. Beberapa kritikus mengkritik sistem suara elektoral Amerika Serikat yang memungkinkan seorang kandidat memenangkan pemilu meski kalah dalam jumlah suara populer. Kritikus menyebut bahwa sistem ini tidak demokratis.
  4. Ada laporan tentang upaya menekan partisipasi pemilih, terutama di kalangan minoritas, melalui kebijakan yang mempersulit proses pemungutan suara, seperti undang-undang identifikasi pemilih yang ketat.
  5. Pada saat itu, ada kekhawatiran tentang kerentanan sistem pemilihan elektronik terhadap serangan siber dan manipulasi.

Meskipun terdapat kontroversi dan tuduhan kecurangan, namun tak ada satupun bukti yang membenarkan tuduhan kecurangan itu. Karenanya tindakan Hillary dalam menerima kekalahannya dengan lapang dada mencerminkan jiwa seorang negarawan besar yang mampu menjauhkan egoisme dan ambisi atas nama demokrasi, kejujuran, dan keadilan.

Hal inilah sangat kontras dengan kondisi di Indonesia, karena sejak Pilpres diselenggarakan secara langsung 2004, pihak yang kalah tak pernah mau menerima kekalahannya, mereka terus melakukan perlawanan dengan melontarkan aneka tuduhan kecurangan kepada penyelenggara maupun rival politiknya. Isu ketidakjujuran, ketidakadilan, dan non-demokratis pun terus digoreng dengan bumbu scientific semu. Semua item penyelenggaraan pemilu yang terang apalagi yang tersamar dibombastis dengan taktik demonisasi (pembusukan) untuk mendelegitimasi kemenangan sang jawara.

News Feed