English English Indonesian Indonesian
oleh

Politik Demonisasi

Untuk meyakinkan publik, mereka membungkus segala fitnahan dan kekerdilan jiwa mereka dengan berbagai tesis, analogi, dan premis yang seolah-olah ilmiah. Tak heran jika banyak akademisi kelas kakap termakan provokasi dan propaganda mereka itu dengan mengabaikan kaidah akademik sejati. Perhatikan saja dalil yang mendasari petitum mereka dalam gugatan di MK, sebagian besar kalau bukan seluruhnya hanya bersandar pada rangkaian indikasi, asumsi, dan hipotesis yang dijustifikasi oleh logika teori dan formula statistik dan sejenisnya.

Saksi fakta yang mereka ajukan semuanya tak lebih hanya dalam bentuk testimonium de auditu (hanya mendengar dari pihak lain) atau ratio concluding (hanya berdasarkan kesimpulan ia sendiri). Kalaupun ada yang bernilai faktual, maka kebenaran itu hanya menggunakan majas pars pro toto (nila setitik rusak susu sebelanga). Alhasil posita mereka hanya kaya dengan obiter dicta, tapi miskin ratio decidendi.

Sampai di sini kita dapat menyaksikan secara telanjang kekejian pihak yang kalah melalui demonisasi rival politiknya yang jadi pemenang dalam kompetisi. Mereka sama sekali abai dengan sumpah “siap menang siap kalah”. Karena didorong oleh kekerdilan jiwa, mereka gengsi menerima kekalahan. Rupa buruk, cermin dibelah, mereka sama sekali tak menyadari jika mereka memang kurang pandai menari dalam panggung politik melawan rival politiknya, namun mereka kemudian mengambinghitamkan lantai tak datar. (*)

News Feed