English English Indonesian Indonesian
oleh

Parade Petisi

Oleh: Nurul Ilmi Idrus

Sepekan terakhir ini petisi dari berbagai perguruan tinggi bergema secara beruntun yang mengkritisi pemerintahan Jokowi. Petisi ini dimulai dari Universitas Gadjah Mada pada 31 Januari 2024 lalu, kampus yang konon justru menjadi almamater Jokowi (meski isu ijazah palsu selalu bergema). Petisi yang populer dengan sebutan Petisi Bulaksumur ini dibacakan oleh Prof. Koentjoro yang mengkritisi tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Jokowi. Ini diikuti oleh berturut-turut petisi dari Universitas Islam Indonesia (UII) pada 1 Februari 2024 dan petisi dari Universitas Khairun Ternate (Unkhair). Pada tanggal 2 Februari 2024, ada enam perguruan tinggi yang melakukan petisi, yakni: Universitas Hasanuddin, Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Sunan Kalijaga, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Atmajaya, dan Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung. Di hari-hari berikutnya petisi-petisi semakin bertambah baik dari perguruan tinggi negeri, maupun swasta, dan konon jumlahnya telah mencapai angka 50-an dan semakin hari semakin bertambah. Ini seperti parada petisi, one after the other. Anehnya, tak ada satupun perguruan tinggi negeri yang rektornya membacakan langsung petisi tersebut. Kira-kira kenapa ya?

Kemunculan petisi ini ternyata menimbulkan keresahan tersendiri bagi segelintir kalangan, tidak saja di internal perguruan tinggi yang melakukan petisi, termasuk segelintir akademisi, pejabat, dan rektor. Tidak mengherankan jika ada petisi yang dihadiri oleh segelintir orang, adapula petisi yang dikelilingi oleh polisi, namun tidak sedikit perguruan tinggi yang melakukan petisi dengan damai dan ramai karena mereka mendapatkan dukungan dari petinggi kampus. Namun, sekelompok akademisi membuat petisi “tandingan” yang menyerukan bahwa kondisi Indonesia baik-baik saja. Apakah mereka sedang berada di planet lain, sehingga tidak melihat situasi politik di Indonesia dengan berbagai rekayasa politik untuk melanggengkan kekuasaan?

Yang lebih mengherankan lagi, Moeldoko sampai mengeluarkan fitnahan dan ancaman dalam kaitan dengan berbagai petisi yang dilakukan oleh perguruan tinggi maupun swasta. Moeldoko menganggap mereka yang melakukan petisi sebagai kaum intelektual yang “mungkin pintar”, tapi tak memiliki hati, sehingga mereka bagai “robot” yang dikendalikan. Moeldoko seharusnya menyebutkan saja siapa gerangan orang yang mengendalikan para intelektual kampus, sehingga melakukan petisi atau Moeldoko mungkin memiliki banyak pengalaman mengendalikan orang seperti robot, sehingga begitu mudah menarik kesimpulan bahwa intelektual kampus yang melakukan petisi adalah robot. 

Moeldoko juga mengancam untuk tidak coba-coba mengganggu presiden karena ia akan pasang badan untuk itu, seakan ia sedang berhadapan dengan oposisi perang. Mungkin Moeldoko lupa bahwa intelektual kampus itu bagian dari rakyat Indonesia, bukan Jepang atau Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Presiden terganggu bagaimana dengan petisi tersebut? Bukankah sebagai seorang pejabat seharusnya telinga dibuka lebar-lebar bukan hanya untuk hal-hal yang enak didengar, tapi juga untuk kritikan-kritikan pedas, apalagi untuk kepentingan bangsa dan negara. Ini mengingatkan kita pada frasa: “Jangan jadi pejabat, jika tak ingin dikritik.”

Mungkin tujuan para intelektual kampus dalam ber-petisi dan tujuan Moeldoko dalam memfitnah dan mengancam para intelektual kampus berbeda kelas. Jika petisi intelektual kampus bertujuan untuk menjaga muruah demokrasi di Indonesia, maka Moeldoko menjaga agar kekuasaan tetap langgeng sampai kaken-niken. 

Ironisnya, Moeldoko seolah menasihati bahwa “seorang intelektual harus betul-betul memberikan suri tauladan kepada anak cucu kita.” Kalimat ini harusnya belum titik, tapi masih bersambung, bahwa “demikian halnya dengan presiden, sebagai pemimpin bangsa.” Ini agar Indonesia melahirkan generasi-generasi yang beretika, cerdas, berkualitas, jujur, intelek, dan bermartabat, bukan sebaliknya. (*)

News Feed