English English Indonesian Indonesian
oleh

Caleg Disabilitas di Tengah Dominasi

Oleh: Naufal Asril Efendi*

Penyandang disabilitas menghadapi tantangan berat untuk bisa merebut kursi di parlemen. Apalagi, mereka dikepung dominasi kuasa.

Tidak terasa pagelaran pesta demokrasi sudah ada depan mata. Ini menandakan bahwa 14 Februari 2024 mendatang bakal menjadi momentum bagi mereka yang bermimpi untuk bisa melenggang sebagai wakil raykat alias anggota legislatif.

Partai politik pun tidak ketinggalan ambil bagian dalam pemilu kali ini. Sebagai wadah perekrutan politik, kehadirannya tentu membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menjadi calon anggota legislatif.

Kesempatan emas ini yang membuat harapan besar bagi orang-orang yang ingin memiliki kesamaan hak untuk bisa duduk di kursi DPR nanti. Peluang ini tentunya berlaku bagi siapa saja, termasuk penyandang disabilitas. Layak rasanya penyandang disabilitas untuk ikut andil menjadi bagian dalam upaya memajukan Indonesia menjelang Pemilu 2024.

Peluang

Undang-undang No. 7/2017 tentang Pemilu, pasal 5 menyatakan, “Penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih, sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon Presiden/wakil Presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai penyelenggara Pemilu”.

Ini membuktikan bahwa kehadiran penyandang disabilitas sangat disambut baik pemerintah. Tidak hanya menjadi objek pada pemilu saja, juga dapat memegang peranan penting sebagai subjek.

Menurut Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik terdapat sembilan bakal calon anggota legislatif penyandang disabilitas yang akan turut bersaing pada Pemilu 2024. Rinciannya, dari PPP (3), Partai Golkar (1), Partai NasDem (1), PKS (1), PBB (1), Partai Perindo (1), dan terakhir PSI (1).

Tentunya dalam mengusung calon anggota legislatif, partai politik akan memilih orang-orang yang telah dianggap memiliki kedekatan dengan masyarakat. Aktivitas yang berfokus untuk menyuarakan hak-hak kelompok minoritas yang termarginalkan baik dari segi kesehatan, pendidikan, pelayanan publik, hingga lapangan pekerjaan menjadi kriteria utama direkrutnya caleg disabilitas.

Perlu diingat, pencalonan penyandang disabilitas menjadi dipengaruhi oleh dorongan sesama penyandang disabilitas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penyandang disabilitas seperti tidak kasat mata, bahkan terkesan seperti diabaikan keberadaannya. Tidak terwujudkannya pemenuhan dan perlindungan secara inklusi menjadi pekerjaan rumah dari pemerintah yang tidak pernah terselesaikan.

Berangkat dari hal itu, penyandang disabilitas perlu memiliki wakil di parlemen. Tujuan mulia yang diserukan untuk menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas harus tersampaikan sebagaimana yang tertera di sila kelima Pancasila.

Tantangan

Tidak dapat dimungkiri pencalonan penyandang disabilitas menjadi anggota legislatif merupakan angin segar bagi politik Indonesia. Keikutsertaan mereka dalam pemilu dianggap sebagai suatu kemajuan. Tetapi berita baik ini tidak dibarengi dengan respons positif dari sebagian masyarakat yang masih memiliki keraguan terhadap penyandang disabilitas.

Sebagian besar masyarakat masih belum dapat berlaku objektif terhadap penyandang disabilitas. Sikap stereotipe atau penilaian terhadap seseorang yang dilandaskan hanya pada persepsi bisa saja menimbulkan tindakan diskriminasi.

Selama ini masih ada stigma di masyarakat yang menganggap bahwa penyandang disabilitas masih belum bisa menyuarakan suara. Tidak jarang mereka yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan, acap kali tidak didengar pendapatnya akibat dianggap tidak berkompeten mengenai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Hal inilah yang membuat penyandang disabilitas masih kurang dilirik oleh masyarakat untuk dapat menjadi anggota legislatif. Tantangan lain yang harus dihadapi oleh caleg disabilitas dalam pemilu nantinya terkait soal pendanaan. Seperti momok yang menakutkan, tetapi ini realitas yang harus dihadapi oleh caleg disabilitas.

Dana Kampanye

Pendanaan pada saat pemilu untuk caleg disabilitas tidak main-main. Kita perlu menggarisbawahi bahwa dana yang harus disiapkan caleg disabilitas dapat dikatakan lebih banyak ketimbang caleg nondisabilitas.

Lingkungan yang tidak cukup ramah terhadap penyandang disabilitas menjadi salah faktor mengapa itu semua terjadi. Sebagai contoh, caleg disabilitas tunarungu, pastinya membutuhkan seorang penerjemah dan caleg disabilitas tunanetra membutuhkan screen reader serta pendamping.

Itu semua pastinya tidak murah dan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apabila hanya mengandalkan dana pribadi dan bantuan dari partai politik yang mengusung, dirasa tidaklah cukup.

Di beberapa negara seperti Inggris dan Wales, caleg disabilitas mendapatkan perhatian khusus dengan diberikan akses pendanaan melalui program Access to Elected fund Office (AEO). Program ini bertujuan membantu pendanaan penyandang disabilitas yang ingin mencalokan sebagai pejabat politik. Jadi pendanaan ini tersedia untuk mengurangi hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas.  

Bercermin dari negera tersebut, diperlukan dorongan untuk bisa membentuk aliansi yang diharapkan dapat mengadvokasi pemerintah agar caleg disabilitas dapat disediakan dana terkait sarana dan prasarana selama pemilu.

Tantangan penyandang disabilitas sangat berat pada Pemilu 2024, namun mereka menjadi harapan besar bagi demokrasi Indonesia ke depan. Di balik segala konsekuensi yang dihadapi untuk mendapatkan suara dari masyarakat, kita perlu mengapresiasi orang-orang yang berjuang untuk bisa mendapatkan tempat di parlemen. Walaupun dirasa cukup sulit, kesempatan ini merupakan peluang untuk menunjukkan eksistensi penyandang disabilitas.

Perlu kesadaran masyarakat bahwa penyandang disabilitas juga bisa menjadi wakil mereka di parlemen. Sebagai pemilih cerdas, penting bagi kita untuk memilih wakil kita secara selektif.  Visi, misi, serta program kerja menjadi aspek utama dalam memilih caleg.

Tidak ada salahnya memilih penyandang disabilitas menjadi anggota legislatif. Selama memiliki ide dan solusi terhadap persoalan masyarakat, seharusnya kita bisa memberikan suara dan dukungan kepada mereka. Dengan keterwakilan disabilitas dalam bidang politik, bisa menjadi gebrakan untuk memperjuangkan hak-hak yang selama ini masih belum bisa dimengerti secara utuh baik itu pemerintah maupun wakil rakyat. (*)

*Penulis merupakan alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik  (FISIP) Unhas

News Feed