English English Indonesian Indonesian
oleh

Sinrilik dan Rekamannya Tentang Bilah Besi

OLEH: Arif Rahman Daeng Rate, Pegiat sinrilik dan kajian tradisi lisan

Antara tanggal 27 sampai 29 Oktober 2023 lalu berlangsung perhelatan Gaukang ri Taeng, sebuah festival budaya masyarakat Kampung Adat Taeng di kabupaten Gowa bekerjasama dengan Komunitas Karpet Kuning (komunitas pencinta bilah pusaka) yang juga berkolaborasi dengan banyak komunitas serupa.

Kegiatan yang dihelat untuk kedua kalinya ini mencoba menampilkan fragmen Taeng sebagai wilayah khusus dalam sejarah panjang kerajaan Goa. Kampung yang berada di tepi sungai Jeneberang ini identik dengan para empu pembuat berbagai macam senjata dan peralatan dari besi. Konon dari sinilah senjata kebanggaan masyarakat Makassar yakni badik, sudang, selek, sonrik, dan kalewang ditempa secara massal di masa lalu dan digunakan sebagai senjata sekaligus lambang kehormatan dan keberanian.

Dengan sangat apik panitia penyelenggara menyusun tata ruang pameran untuk menampilkan riwayat tentang Taeng ini. Di dalam sebuah ruangan kita jumpai  etalase berisi berbagi jenis senjata. Sementara itu pada dinding kita saksikan aneka ragam lipak sabbe berbagai warna dan corak. Seperangkat alat tenun yang telah berusia ratusan tahun tampak diletakkan dalam bilik lasugi, anyaman bambu berbentuk kotak yang akrab ditemui pada acara pernikahan atau ritual tertentu.

Oleh panitia festival saya didaulat untuk membawakan sinrilik, seni bertutur khas Makassar berisi legenda dari masa lalu pada malam tanggal 27 Oktober 2023. Segera setelah menerima undangan tersebut saya mulai memutar otak berpikir tentang naskah yang tepat untuk dibawakan.

Pilihannya adalah membawakan salah satu naskah sinrilik yang populer atau membuat narasi sendiri yang sebisa mungkin menyasar tema kegiatan.  Fokus yang menjadi kegelisahan saya adalah narasi tentang besi, demikian para pencinta bilah pusaka mengistilahkannya. Kata bassi/ besi ini yang juga disebut masyarakat Makassar untuk merujuk pada senjata tajam yang kita kenal.

Ingatan saya kemudian menjangkau potongan naskah sinrilik I Manakkuk Caddi-caddi. Saya ingat persis di bagian awal naskah ini digambarkan bagaimana bangsawan dari Luwu tersebut menyiapkan segala keperluannya saat akan berlayar ke Labbakkang. Di sini disebutkan bahwa ia menyelipkan keris pusakanya yang berhulu gading dan berpamor baja malela. Keris ini bernama Landona Manngaribia. Akhirnya saya menemukan naskah yang tepat untuk dibawakan dan berkenaan dengan besi.

Saya mulai memilah beberapa bagian dari naskah ini dan menyusunnya kembali dalam format yang lebih singkat. Jika naskah sinrilik ini dibawakan seutuhnya, tentu saja waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya adalah semalam suntuk. Pada kesempatan pertunjukan ini saya hanya akan akan menuturkan beberapa bagian yang khusus membahas informasi tentang jenis-jenis senjata tajam dari besi beserta keterangan-keterangannya.

Ingatan tentang narasi besi dalam naskah sinrilik mengantar saya ke dua sinrilik lain, Datu Museng dan I Maddi Daeng ri Makka. Di kedua naskah sinrilik ini juga terdapat informasi tentang jenis senjata yang digunakan oleh para tokoh utamanya beserta karakteristiknya. Kebutuhan narasi sinrilik sudah saya rasa cukup  untuk pertunjukan pada malam harinya.

Di lokasi acara saya berdiskusi dengan panitia pengarah acara, Jamaluddin Sirasaputra Daeng Matikak. Saya menjelaskan bahwa kemasan pertunjukan sinrilik akan saya buat partisipatif dan interaktif. Saat pertunjukan berlangsung para penyimak bisa dengan bebas merespons.

Daeng Matikak  juga memberitahu bahwa Kamaluddin SP Bunga Daeng Narang atau yang akrab disapa Tetta Narang yang merupakan pakar tentang khazanah bilah  besi dari Taeng akan hadir juga. Saya mendapatkan ide tambahan. Saya meminta agar peran pasinrilik lebih sebagai penyampai potongan naskah yang berkaitan dengan besi lalu mengonfirmasi kepada para pakar apakah yang sebenarnya dimaksud pada naskah tersebut yang berkenaan dengan besi.

Tidak hanya Daeng Narang, beberapa penggiat besi dan benda pusaka juga diminta untuk bergabung dalam lingkaran dan berbagi perspektif saat sinrilik berlangsung. Beberapa orang yang hadir dan duduk melingkar bersama antara lain, Wahyu Munandar (Galeri Pusaka Bugis Makassar) yang juga bertindak sebagai moderator, Azis Nojeng (akademisi dan penggiat budaya), Ivan Tandi Paewa (Komunitas Karpet Kuning), Andi Lutfi (penggiat bilah dari Parepare), Burhanuddin Taherong (Parewabessi Sulsel), Andi Promal Pawi (Lamakkawa Bone/ Kadisparbud Bone), Budi Pare (Wanua Pare-pare), Andi Musaffar (Mantan Kadisbudpar Sulsel), Andi Djaelante (Galeri Pusaka Bugis Makassar), Jafar Sese, Jaka Suppa (Parewa Bessi Pasompe Balikpapan), dan Forum Pemerhati Bumi Latemmamala Soppeng.  

Salah contoh potongan naskah yang kemudian dikonfirmasi adalah sebagai berikut, “Panaummi-ntu mae pokea ri landanganna, sonrika ri timbanganna, bakdilika ri dendeanna, la kupakjari lampaku lonna lekbak parurungku.” Beberapa kosakata baru untuk saya dan bahkan bagi para pencinta bilah besi di sini kemudian diulas.

Daeng Narang menjelaskan bahwa pokea ri landanganna bermakna tombak yang disimpan di atas gagangnya pada loteng rumah. Konon katanya jika tombak tidak dipakai maka akan ditaruh di atas loteng. Barulah diturunkan jika perang terjadi atau akan dilakukan pelayaran yang jauh. Adapun “Sonrika ri timbanganna” berarti sonrik pada tatakannya yang digambar seperti timbangan. Sonrik sendiri merupakan sejenis keris yang berbentuk lancip dengan kedua sisinya yang tajam, mirip dengan bayonet. “Baddilika ri dendeanna” berarti bedil pada tatakannya. Selain penggunaan senjata tajam, catatan peristiwa dalam sinrilik ini juga mempertegas penggunaan senjata api pada masa tersebut.

Pada naskah sinrilik Datu Museng terdapat potongan, “Selek Matatarampanna, malela Manjapaiya, nikamiringia malela, niotinga tarangkijang, deddek ilauka mene, gurinda Sorobayaya.” Keris Matatarampanna, malela Majapahit, diberi motif dengan malela, pangkalnya dari karangkijang, keris tempaan dari barat, dengan gerinda dari Surabaya. Daeng Narang menimpali bahwa pusaka Datu Museng ini dibuat oleh empu dari Jawa.

Beliau juga mengatakan ada narasi yang meriwayatkan bahwa keris tersebut dibuat di Sumenep. Malela yang disebutkan tersebut merujuk pada jenis besi yang tidak berpamor dan juga jenis pisau yang sangat beracun. Adapun karangkijang, menurut Daeng Narang merujuk pada jenis biji besi khusus yang mengisi bagian pangkal badik atau keris.

Sebagaimana dikisahkan dalam sinrilik ini bahwa Datu Museng yang bernama asli I Baso Mallarangang tumbuh di wilayah kekuasaan kesultanan Sumbawa. Kelak setelah dewasa kemudian menikahi Maipa Deapati, putri sultan Sumbawa. Ia kemudian menjadi panglima perang kerajaan dan pada suatu ketika diutus ke Jumpandang untuk mengatasi pemberontakan salah seorang bangsawan Sumbawa yang meminta bantuan VOC di Jumpandang. Mendengar penjelasan tersebut seorang lantas bertanya apakah bentuk dan gaya keris tersebut identik dengan keris Jawa. Daeng Narang mengatakan pasti demikian dan penjelasan pada sinrilik mempertegas hal tersebut.

Sebagaimana Datu Museng dan I Manakkuk Caddi-caddi yang memberi nama pada besi mereka, keris pusaka I Maddi Daeng ri Makka dan Karaeng Bontotannga, dua bangsawan yang berseteru dalam sinrilik I Maddi Daeng ri Makka juga memiliki nama. Pada potongan sinrilik tersebut kita akan menemukan kalimat ini, “Sallo memangmi sikanakkuki bassi Manurunga I Labbak ri Balandangang na bassi Manurunga I Ballang ri Bontotannga.”

Telah sekian lama keris pusaka I Labbak di Balandangang dan I Ballang di Bontotannga saling merindu, demikian terjemahan harfiahnya. Daeng Narang menjelaskan bahwa penyebutan benda pusaka sering kali dikaitkan dengan asal muasal atau ciri fisik yang melekat padanya. Penyebutan manurung bisa jadi berkaitan dengan awal mula munculnya benda tersebut yang dibawa oleh raja pertama pada sebuah kerajaan lalu menjadi pusaka dari generasi ke generasi. Ada pun penggunaan labbak yang berarti lebar dan ballang yang berarti belang sudah pasti merujuk pada karakter fisiknya. 

Di luar dugaan saya, sinrilik yang sedianya saya targetkan akan memakan waktu antara 15 sampai 20 menit ternyata berlangsung lebih lama. Karena konsepnya dibuat partisipatif, saling silang informasi dan pengetahuan baru kemudian terjadi dengan sangat dinamis. Bagi saya pribadi yang menekuni sinrilik dan berkutat dengan banyak naskah tua, ada banyak kosakata “ajaib” yang sulit dipahami di dalamnya. Kesempatan ini saya gunakan untuk “mencuri” ilmu dari para pakar yang paham tentang seluk beluk bilah  besi dan pengetahuan di baliknya.

Bagi mereka yang paham ini menjadi kesempatan untuk berbagi informasi dan mengonfirmasinya ke orang lain yang mungkin punya versi yang berbeda. Ada juga beberapa istilah yang betul-betul baru dan belum diketahui. Ini lantas menjadi PR baru bagi semua yang hadir untuk mencari tahu benang merahnya.

Bagi para penggiat besi/ bilah pusaka ini menjadi hal yang baru dan dirasa segar sebab melalui sinrilik, narasi tentang besi ternyata bisa dijangkau dan dibincangkan dengan riang. Ini juga menjadi edukasi bahwa selama ini ada kekeliruan dalam memandang besi/ senjata tajam yang selalu dikonotasikan negatif dan dekat dengan aksi kriminal. Sementara itu, sinrilik yang meskipun pada dasarnya adalah karya sastra yang mengandung banyak metafora dan kisahnya dikemas hiperbolis, tetap menunjukkan riwayat zamannya yang bergulir. Potongan peristiwa pada sinrilik menandai banyak aspek yang terjadi dan memberikan gambaran bagaimana manusia Makassar hidup pada masa tersebut, secara khusus bagaimana mereka memperlakukan bilah besi. 

Salamak.   

News Feed