English English Indonesian Indonesian
oleh

Ekonomi Syariah dan Zakat

(Materi Dakwah yang Belum Matching)

Oleh : M Arfin Hamid, Guru Besar Ekonomi Syariah FH Unhas/WR I UIM

Melihat situasi yang berkembang dalam dunia edukasi dakwah, konsep, dan praktek ekonomi syariah sudah berkembang pesat di tanah air, dipahami sebagai sistem atau model ekonomi yang khas disamping sistem ekonomi yang telah ada berkembang luas saat ini.

Sistem/model ekonomi yang khas itu tiada lain karena tidak bersumber atau tidak dilahirkan melalui sistem-sistem ekonomi yang sudah ada seperti sistem ekonomi liberalisme, sosialisme, komunisme, mix sistem, dan sistem tradisional. Melainkan sistem ekonomi syariah lahir dan terbentuk secara luar biasa, yaitu diturunkan (anzalnahu) dari langit, merupakan wahyu Allah yang termaktub dalam Alquranul kariem dan Assunnah Rasululllah Saw. Di luar dari sistem ekonomi syariah tersebut semuanya lahir dan terbentuk secara sosiologis yang dibuat oleh manusia itu sendiri (bottom up) melalui akal dan peradabannya.

Adapun dalil yang menunjukkan keharusan berekonomi syariah itu antara lain, ya ayyuh an-nas kulu’ mimpa fil ardhi halalan tayyiban wahai manusia konsumsilah (bisniskanlah, profesikanlah) apa yang ada di bumi secara halal yang baik. Wabtaghi fima atakallah al-daral akhirah wa la tansa nashibaka min al-dun’ya kerjarlah apa yang dijanjikan Allah pada kehidupan akhirat, tetapi janganlah melupakan nasib kalian di dunia.

Sehingga tampak jelas bahwa berusaha/berkerja/berpofesi yang sesuai syariah wajib hukumnya, selain menjadi keharusan yang harus ada dalam proses ibadah, namun juga harus dipastikan keabsahan dan kehalalannya. Hal ini penting karena Allah itu maha suci dan hanya akan mennerima dari hamba-Nya yang suci pula (innallaha tayyibun la yaqbalu illa tayyiban).

Eksistensi Zakat

Zakat secara substansi merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan dari harta/uang/objek merupakan perintah Allah setelah perintah shalat, sekaligus merupakan rukun Islam ketiga, sehingga dapat dipastikan hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi rukun dan syaratnya, yaitu sebegai pemilik penuh (muzakki) terhadap objek/harta/uang yang mencapai jumlah tertentu (nishab) dan jangka waktu setahun (haul) dikeluarkan sesuai kadar yanhg telah ditetapkan.

Dakwah dan informasi serta sosialisasi keharusan berzakat dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Ayat yang paling popular, pungutlah zakat dari harta-harta mereka untuk membersihkannya dan mensucikan diri mereka, dan berbagai hadis Rasulullah Saw telah mengatur teknis dan bahkan kini telah ada panduan zakat baik manual maupun digital yang telah divalidasi oleh Kemenag RI.

Perintah yang terkait dengan harta/objek/uang bukan hanya soal zakat bagi yang berkemampuan, namun bagi muslim yang belum masuk kategori muzakki (kaya), juga ada anjuran yang sangat diharapkan melakukan infaq dan shadaqah kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan dan secara fisik memprihatinkan.

Dakwah dan Akar Masalah

Sebuah problem yang perlu dipahami bahwa dakwah tentang zakat sudah berlangsung begitu optimal dan menyeluruh sehingga permasalahan ZIS sudah hampir terselesaikan dengan baik dan jelas, untuk itu yang diperlukan adalah tumbuhnya kesadaran personal dan institusional untuk berzakat, infaq dan shadaqah.

Problemnya terletak pada cara pandang dan cara memposisikan ZIS tersebut perlu dikritisi, bukankah ZIS itu ending/akhir dari sebuah proses yaitu berkerja, berusaha, dan berprofesi yang hasilnya adalah harta/uang dari sinilah dikenakan ZIS. Jadi ZIS adalah buah dari proses kerja keras untuk menghasilkan harta/uang yang banyak agar kena zakat. Jadi zakat itu bukan dipungut-pungut bergitu saja, zakat bukan barang jatuh dari langit seperti ungkapan zakat, zakat, zakatlah. Masalahnya apa yang akan dizakati jika tidak ada harta/uang, semestinya didakwahkan dulu bagaimana cara bekerja/berbisnis/berprofesi yang benar, sah, dan halalan tayyiban  yang hasilnya dikenakan zakat.

Jadi materi dakwah yang berjalan seakan-akan terpotong bagaikan naik tangga dari step 1 langsung ke step 3, melompati step 2, sehingga hasilnya kurang optimal, dan ini kurang tepat karena terkadang berzakat itu tidak lagi dikaitkan dengan proses mendapatkan harta/uang, yang penting berzakat ada materi zakatnya.

Menekankan dakwah pada zakat sudah sangat tepat adanya, namun sebelum sampai ke zakat idealnya terlebih dahulu didakwahkan kewajiban bekerja, berbisnis, dan berprofesi yang sesuai syariah atau ajaran Islam, inilah yang disebut berekonomi syariah atau ekonomi Islam, dalam kitab fikih disebuh fikih muamalah (iqtishady).

Sebagai konsekuensi kurangnya dakwah dan pendakwah yang menguasai dan menyampaikan kewajiban bekerja/berbisnis pilihan objek/komoditias, setrategi, potensi, peluang, marketing, bagi hasil, dan komopetisinya yang manjadi objek pembahasan dalam ekonomi syariah sangat jarang disampaikan di mimbar. Dengan demikian dakwah tidak berbasis akar masalah langsung ending/hasilnya, atau zakat itu sendiri, sementara akar masalahnya adalah keharusan bekerja keras agar dapat harta/uang yang banyak nantinya kena zakat. Wassalam. (*)

News Feed