English English Indonesian Indonesian
oleh

Atte Shernylia Maladevi, Mengkritik Budaya Lewat Karya Fiksi

FAJAR, MAKASSAR— Atte Shernylia Maladevi mungkin tak pernah bermimpi menjadi seorang penulis, di usianya yang sudah ke-41 tahun perempuan kelahiran Bantaeng ini tak pernah menyangka hobi yang kerap ia lakukan di sela-sela waktunya sebagai ibu rumah tangga bisa melahirkan sejumlah karya yang ia bekukan bentuk buku.

Ia telah melahirkan tiga karya yang mengangkat kisah fiksi umumnya menyangkut perempuan. Itu dipoles dengan latar sejarah berpadu kearifan lokal yang kuat. Latar belakangnya sebagai anak daerah yang dibesarkan dengan budaya yang kental kemudian menginspirasinya untuk berkarya.

Atte’ sapaan akrabnya menilai karya sastra dengan latar kearifan lokal dapat mendekatkan publik dengan beragam kebudayaan. Novel sebagai karya fiksi menjadi wadah yang sangat tepat dalam mengenalkan budaya-budaya Bugis-Makassar ke khalayak luas.

“Generasi sekarang minim referensi tentang budaya, kearifan lokal, dan saya rasa propaganda melalui novel merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan itu,” tutur Atte.

Buku pertamanya, yang ia beri judul “Titisan Cinta Leluhur” yang diterbitkan Nala Cipta Litera pada 2013 ini membawa Arung seorang pemuda Bantaeng yang bermimpi bertemu dengan perempuan yang mengajaknya ke daerah bernama Butta Toa, ke rumah adat Balla’ Lompoa.

Dua tahun setelahnya Atte menerbitkan novel “Djarina” buku yang berkisah tentang perempuan Sulsel, buku ini menurutnya yang paling banyak ia ternitkan bahkan dua kali mengalami cetakan. Kemudian di tahun 2017 ia kembali menerbitkan buku dengan judul “Surat Cinta untuk Djarina”.

Kearifan lokal Sulsel termasuk di dalamnya Bantaeng dan Bone menjadi ciri khas dari buku-buku yang diterbitkannya. Dia sengaja mengambil kisah sejarah dan dipadukan dengan cerita fiksi untuk membangun kembali ingatan kalangan muda.

Rupanya motivasi Atte untuk menulis mulai muncul di tahun 2012, alumni jurusan Matematika Universitas Hasanuddin ini tak pernah bermimpi menjadi seorang penulis, sebab di sela-sela dirinya menjadi ibu rumah tangga, dirinya juga kerap kali disibukkan dengan kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan.

Dia memimpin sebuah lembaga yang bernama Unit Pelayanan Terpadu Sipakatau, lembaga ini membantu orang miskin dalam memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun lembaga ini didirikan oleh pemerintah daerah, ia mengisi posisinya sebagai tenaga ahli non-ASN. Selain itu, ia juga tergabung dalam Komunitas Boetta Ilmoe Rumah Pengetahuan.

Menulis menurutnya merupaka cara terbaik dalam mengisi waktu sekaligus menyalurkan isi pikiran, banyak potensi yang bisa dieksplorasi, pun ide-ide yang dituangkan ke dalam buku tak lekang oleh zaman.

Ia juga akrif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengkritisi adat dan budaya yang mengurung mereka dalam pola pikir yang kurang fleksibel.

Kritikannya itu juga kerap ia tumpahkan dalam teater. Dalam sebuah pentas monolog “Mahar dan Perempuan”, Atte mengecam tradisi uang panai yang dianggap membeli perempuan dan mengurangi martabat mereka.

Melalui karya-karya tersebut, ia berusaha membangun kesadaran akan pentingnya memberikan kebebasan pada perempuan untuk mengeluarkan ide dan pandangan mereka, serta memperjuangkan hak-hak mereka.

Teater dan menulis menjadi sarana kritik teruadap adat dan budaya yang masih tertinggal di Sulawesi Selatan. Dia berharap bahwa karya-karyanya dapat menjangkau lebih banyak pembaca, terutama kaum millenial di Sulawesi Selatan.

Pun giatnya dalam menulis bisa menginspirasi semua kalangan termasuk perempuan. Menurutnya sebuah karya sastra seyogianya bisa diramu oleh siapapun, asal ada kemauan kuat. Apalagi menulis fiksi, khususnya yang mengangkat kearifan lokal dan perempuan di Sulsel masih belum begitu populer.

Wahana ini pun menjadi wadah kebebasan untuk berbicara dan mengkritisi tanpa takut dicemooh atau dihakimi. Ia berusaha menyebarkan hal-hal baik dan memberikan ide yang membangun bagi generasi muda, pemerintah, atau bahkan orang tua di Sulawesi Selatan.

“Di Bantaeng itu, yang menjadi masalah adalah Indeks Pembangunan Manusia yang masih rendah. Kalau infrastruktur mungkin sudah bagus. Jadi IPM-nya salah satu target kami. Literasi kami membantu Pemda untuk meningkatkan minat baca yang akhirnya meningkatkan IPM juga,” ujar Atte. (ashari prawira negara/*)

News Feed