English English Indonesian Indonesian
oleh

Menanti Putusan MK

Ada putusan penting Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia yang ditunggu para politisi Indonesia. Putusan sidang judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang digelar sejak bulan Januari lalu. Gugatan menyangkut sistem pemilu proposional terbuka — yang sudah digunakan dalam beberapa pelaksanaan Pemilihan Umum sebelumnya. Gugatan uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka ini kembali diajukan ke MK pada akhir November 2022. Salah satu pemohon perkara adalah politisi Demas Brian Wicaksono dan lima orang lainnya: Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Para pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Terkait dengan gugatan di MK, delapan dari sembilan parpol di DPR menyatakan sikap menolak pemilu dengan sistem proporsional tertutup. Kedelapan parpol itu yakni Gerindra, Golkar, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Delapan partai tersebut berargumen, sistem proporsional terbuka yang diterapkan di pemilu Indonesia saat ini merupakan kemajuan demokrasi sehingga tak seharusnya diganti.

**

Berdasarkan catatan yang ada — sistem  pemilu proporsional terbuka sesungguhnya telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dibacakan pada 23 Desember 2008. Oleh karenanya, munculnya gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu yang menyoal sistem pemilu propirsional terbuka dinilai bakal menjadi contoh buruk bagi hukum di Indonesia jika saja MK mengabulkan. Gugatan terhadap yurisprudensi akan menjadi preseden yang buruk bagi hukum di Indonesia dan tidak sejalan dengan asas nebis in idem.

Hari Minggu kemarin kita membaca dan mendengar polemik mantan Presiden SBY dan Sekjen  PDIP Hasto Kristiyanto. Semuanya bermula ketika SBY mengomentari gugatan sistem pemilu yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). SBY mengingatkan MK perihal gugatan ini.

Dalam tulisannya di Facebook yang dibagikan kepada wartawan, Minggu (19/2/2023), SBY mengaku tertarik dengan isu pergantian sistem pemilu seperti dalam gugatan di MK. “Benarkah sebuah sistem pemilu diubah dan diganti ketika proses pemilu sudah dimulai, sesuai dengan agenda dan ‘time-line’ yang ditetapkan oleh KPU? Tepatkah di tengah perjalanan yang telah direncanakan dan dipersiapkan dengan baik itu, utamanya oleh partai-partai politik peserta pemilu, tiba-tiba sebuah aturan yang sangat fundamental dilakukan perubahan? Ini tentu dengan asumsi bahwa MK akan memutuskan sistem proporsional tertutup yang mesti dianut dalam Pemilu 2024 yang tengah berjalan saat ini,” kata SBY.

Begitu pernyataan SBY dimuat media, Hasto langsung menjawab  pernyataan SBY yang mempertanyakan apa kegentingan mengganti sistem Pemilu. Hasto menyebut SBY lupa dirinya pernah mengganti sistem Pemilu pada 2008 silam. “Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem melalui mekanisme judicial review,” kata Hasto kemarin. Hasto mengatakan saat itu SBY mengganti sistem pemilu hanya 4 bulan sebelum Pemilu. Dia menyebut saat itu SBY sistem pemilu demi meraup keuntungan jangka pendek.

**

Benarkah SBY mengeluarkan pernyataan karena Ia sudah melihat arah putusan MK? Benarkah kali ini putusan MK akan mengabaikan aspirasi mayoritas partai politik yang berada di DPR-RI? Benarkah putusan MK akan membatalkan Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu dan mengubah sistem pemilihan umum terkait proporsional terbuka? Apakah kita akan menghadapi pemilu legislatif yang nanti tidak menjadi lebih gegap gempita oleh seluruh figur yang ada di daftar caleg? Banyak isu beredar seputar keputusan MK yang nanti akan keluar. Mungkin karena itu SBY sampai harus kembali membuat pernyataan. MK harusnya memahami adagium Lex semper dabit remedium – hukum selalu memberikan solusi.**

News Feed