English English Indonesian Indonesian
oleh

Angka 4 Persen Tanpa Pijakan, DPR Gagap Rumuskan Alasan Penentuan Ambang Batas

JAKARTA, FAJAR–Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan dalil soal ketidakjelasan perumusan angka ambang batas. Sementara skema penghitungan, MK menegaskan menjadi kewenangan pembentuk UU untuk menetapkannya.

Dalam pertimbangannya, hakim MK Saldi Isra mengatakan, penerapan ambang batas merupakan hal yang lumrah dalam negara yang menganut sistem multipartai. Di Indonesia, pelaksanaannya pun sudah berlaku sejak 2004.

Tujuannya memperkuat sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Meskipun dalam implementasinya tidak terbukti dengan efektif, sistem itu tidak masalah untuk dipertahankan.

Sebaliknya, MK menyoroti angka ambang batas yang terus berubah-ubah. Namun ironisnya, perubahan angka itu tidak memiliki dasar perhitungan yang logis dan ilmiah. Baik pemerintah maupun DPR tidak menjelaskan alasan 4 persen dipilih.

“Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau presentase paling sedikit 4 persen dimaksud,” ujar Saldi.

Padahal, ambang batas jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Di sisi lain, sistem yang berlaku saat ini juga telah mengakibatkan besarnya suara terbuang sia-sia. Misalnya pada pemilu 2004 terbuang 19.047.481 suara dan 2019 terbuang 13.595.842 suata.

Fakta itu, memperlihatkan adanya disproporsionalitas hasil pemilu terhadap kursi DPR. Padahal, sesuai putusan MK nomor 3/PUU-VII/2009, pembentuk UU wajib menentukam ambang batas yang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

News Feed