English English Indonesian Indonesian
oleh

Ketika Netralitas tak Sesuai Realitas

Pemilu 2024 makin dekat. Tersisa waktu dua pekan lagi dari sekarang untuk menentukan pilihan. Saat ini masa kampanye terbuka sedang berlangsung dan masing-masing partai politik menurunkan juru kampanye andalan ke berbagai pelosok negeri.

Persaingan partai politik untuk merebut simpati rakyat makin ketat, dengan melakukan berbagai cara yang diperbolehkan undang-undang. Para ketua umum partai “turun gunung” merayu para pemilih, mengucapkan janji, dan membeberkan rekam jejak positif masing-masing.

Hanya saja dari sekian banyak momentum politik, jualan pilpres lebih seksi dibanding pemilu legislatif (pileg). Padahal keterpilihan caleg akan menentukan seberapa kuat sebuah partai memengaruhi kekuasaan melalui parlemen. Partai politik harus meraih suara nasional sebesar empat persen untuk bisa duduk di Senayan.

Sejauh ini hanya ada sembilan partai politik yang mengatur jalannya politik di tanah air. Mereka adalah: PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, Partai Nasdem, Partai Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Apakah konfigurasi ini akan bertahan atau berubah, kita akan lihat pasca-pencoblosan 14 Februari mendatang.

Daya tarik pilpres yang begitu kuat dibanding pileg, membawa konsekuensi pada situasi politik kian panas. Hingga “memaksa” Presiden Jokowi menyatakan secara terbuka bahwa seorang presiden boleh berkampanye dan memihak salah satu pasangan calon. Jokowi merujuk pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Hal ini mengundang kontroversi dan menilai presiden telah melanggar undang-undang karena bersikap tidak netral. Jokowi pun dipandang tidak konsisten, di mana sebelumnya berkali-kali dirinya meminta semua kalangan, terutama unsur pemerintah dan penyelenggara Pemilu untuk bersikap netral.

News Feed