Oleh: Hasrullah*
Debat ketiga pilpres yang disiarkan langsung secara nasional, kita telah menikmatinya dengan lebih: tajam, menukik, dan cendrerung panas. Kita menyaksikan dramaturgi tiga tokoh capres di pentas debat, menimbulkan simpati dan antipati antara pendukung dan simpatisan para kandidat. Resonasi kognisi saling serang menimbulkan atmosfer “panas-dingin” suasana debat, apalagi suguhan narasi dan data yang disampaikan Anies dan Ganjar bagaikan peluru tajam yang diarahkan kepada Prabowo.
Strategi menyerang baik yang dilakukan dalam edisi ini, memberikan nuansa baru seakan-akan setiap capres memberikan performance yang terbaik seolah-olah besok akan menjadi hari penentu terpilihnya mereka menjadi presiden. Tema yang diberikan oleh pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, Globalisasi, dan Politik Luar Negeri. Di sini notabene salah satu capres, yaitu Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan mestinya menguasai tema debat malam itu.
Dalam persepktif warganet menyimpulkan, Anies Baswedan menjadi pemenang debat ketiga capres. Hal itu ditunjukkan dari data exposure dan engagement perbincangan warga tentang Anies selama debat ketiga pada 7 Januari 2024. Namun, penilaian yang ada di debat malam itu menjadikan para capres menunjukkan kematangan dalam berdebat saling mengkritik dan menuding atas sejumlah persoalan mulai kode etik, kepemilikan tanah, hingga alat utama sistem senjata (alutsista).
Saat debat capres selesai, banyak warganet memberikan komentar. Dari beberapa momen yang terjadi, sebagian warganet menyayangkan debat dipakai untuk saling menyerang secara personal sehingga tak lagi fokus beradu soal gagasan.
Jika mau dibandingkan dengan debat capres yang dilakukan oleh Amerika Serikat, pada saat itu sang petahana Donald Trump (Republik) harus melawan Joe Biden yang ada di kubu Demokrat. Dalam debat Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2020, justru berjalan lebih panas, kacau, dan lebih blak-blakan.
