English English Indonesian Indonesian
oleh

Panoptikon Foucault dan Nalar Kuasa Bawaslu

Oleh: Muhammad Suryadi*

Di tangan Foucault, Panoptikon dikonstruksi ulang. Tidak lagi menjadi sistem dan bangunan penjara melingkar, tetapi digambarkan sebagai pengetahuan adalah pendisiplinan.

Pesta demokrasi lima tahunan atau pemilihan umum adalah konstestasi yang selalu menarik diulik. Ajang pemilihan kepemimpinan politik ini menyuguhkan isu dan beragam wacana yang selalu menguras energi dan menyulut emosi. Yang tak pernah luput saya kira adalah politik hitam dengan segala rupa bentuknya.

Peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sangat krusial. Lembaga yang didirikan 15 tahun silam ini ditugaskan dan bertanggung jawab mengawasi sebelum sampai berakhirnya pemilu. Garis besar kewenangan Bawaslu telah diatur sedemikian rupa dalam UU No. 7/2017 yang mencakup tugas, wewenang, dan kewajiban dalam kerja-kerja pencegahan dan penindakan pelanggaran pada setiap proses pemilihan kepemimpinan politik di wilayah provinsi dan kabupaten/kota.

Dalam analisis penulis, Bawaslu tidak bisa hanya memformat aturan, lalu mengonversinya menjadi undang-undang terkait pengawasan, meskipun itu sangat penting sebagai legitimasi hukum penindakan dan pencegahan. Selain itu, Bawaslu mesti memahami alat instrumental berupa teori-teori yang berkait erat dengan hakikat masyarakat dengan segala kecenderungannya.

Atur Strategi

Teori-teori adalah kerangka konseptual yang digunakan nantinya akan menjadi amunisi pengetahuan yang berfungsi sebagai alat bedah dalam menganalisis bagaimana manusia sebagai individu dan manusia sebagai komunitas sosial dalam rangka menentukan strategi dan mekanisme pencegahan pelanggaran pemilu. Penting bagi Bawaslu masuk mengintervesi ranah akademik mengais-ngais himpunan teori-teori yang sekiranya relevan.

Dari sekian banyak teori, ada satu yang menarik dan perlu dipertimbangkan oleh Bawaslu jika saran penulis ini diterima. Teori itu adalah Panoptikon milik Jeremy Bentham yang kemudian dipertajam oleh Michael Foucault. Pada mulanya, Panoptikon merupakan model penjara Abad Ke-18 yang memantau tahanan. Tata letaknya terdiri dari menara pusat tempat para penjaga dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan sel yang berbentuk cincin.

Di tangan Foucault, Panoptikon ini dikonstruksi ulang tidak lagi menjadi sistem dan bangunan penjara melingkar, tetapi digambarkan sebagai pengetahuan adalah pendisiplinan. Foucault terlebih dahulu mendefinisikan pengetahuan sebagai kekuasaan dan kekuasaan adalah pengetahuan.

Pengetahuan bagi Foucault selamanya memiliki relasi yang kuat terhadap kekuasaan. Kekuasaan baginya adalah domain kebenaran, sehingga Foucault tidak memandang kekuasaan sebagai sesuatu hal yang berbahaya atau memberi dampak negatif. Kekuasaan diukur berdasarkan sejauh mana penggunaannya atau dengan kata lain bagaimana kekuasaan itu digunakan. Tetapi, bukan diakibatkan oleh kekuasaan itu sendiri.

Pengetahuan yang dikonsumsi manusia adalah sejenis sel-sel yang membentuk jaringan saraf yang menerima dan melaksanakan perintah. Dengan melihat tabiat manusia yang percaya pada kebebasan sekaligus dapat tunduk pada norma-norma, Foucault dengan bebas menyatakan bahwa pergerakan kekuasaan menjangkau ke dalam diri setiap individu. Input pengetahuan akan berubah menjadi kuasa yang menyentuh tubuh dan kesadaran individu sehingga dapat menkondisikan sikap dan tindakan.

Rancang Bangun

Penetrasi pengetahuan dalam diri individu menjadi alat kontrol terhadap pengaruh eksternal. Fungsi pengetahuan membentuk kekuatan pengawasan dalam internal diri individu. Sederhananya, pengetahuan adalah nalar kuasa yang dapat mendisiplinkan tubuh. Untuk itulah pengetahuan sama dengan kekuasaan menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan.

Oleh sebab itu, Bawaslu mesti mengeksplorasi nalar tersebut. Bahwa nalar kuasa pengetahuan adalah model rancang bangun yang dapat digunakan dalam menunaikan kerja-kerja pengawasan. Problem utama yang sesungguhnya dihadapi Bawaslu bukanlah praktik politik hitam sebagaimana yang lazim terjadi pada masyarakat kita, melainkan adanya keterasingan rasionalitas yang memisahkan masyarakat dari kesadarannya.

Sementara kesadaran adalah variabel yang sangat sulit diukur. Memang ada banyak jenis kesadaran, tetapi kesadaran yang teramat penting dan paling mendasar adalah pengetahuan. Yang terjadi adalah problem ini tidak pernah mendapat atensi khusus dan penanganan serius.

Dalam konteks inilah Bawaslu sangat penting mengoreksi kerja-kerjanya selama ini. Bawaslu sangat mungkin mengubah model pengawasannya. Mekanisme pengawasan melingkar dengan medium pengetahuan Panopticon Foucault dapat menjadi alternatifnya. Mekanisme dengan jalan ini adalah bentuk pendisiplinan masyarakat yang terbilang efektif di masanya.

Kuncinya adalah nalar pengetahuan dan nalar kuasa. Menciptakan nalar ini menjadi sulit apabila antara Bawaslu dan masyarakat terdapat mispersepsi, sehingga relasi Bawaslu dengan masyarakat menjadi setengah hati. Sementara relasi yang sehat adalah syarat utama memaksimalkan fungsi satu sama lain.

Mekanisme pengawasan melingkar menjadi sangat mustahil karena syarat utamanya tidak terpenuhi. Bangunan Panoptikon Michael Foucault hanya analisis belaka tanpa dibarengi strategi. Yang tersisa hanyalah pengawasan dan pencegahan yang begitu-begitu saja. Kasus penindakan volumenya mungkin akan bertambah.

Akan tetapi, tidak berarti pelanggaran berkurang. Sebaliknya, berkurangnya kecurangan bukan berarti berkurangnya pelanggaran. Tidak adanya kasus pelanggaran sama sekali juga tidak berarti hilangnya kecurangan atau bermakna tugas Bawaslu tuntas, berhasil, efektif, dan efisien. Belum tentu. (*)

*Penulis merupakan Founder LSAF An-Nahdliyyah

News Feed