English English Indonesian Indonesian
oleh

Kesalehan Visual dan Kedalaman Pemahaman

Oleh: Nurhapsah*

Tampilan kesalehan seringkali hanya bersifat kosmetik. Menghiasi wajah luar, tanpa mencerminkan substansi dan makna sejati dari ajaran agama.

Dewasa ini, kita sering kali melihat oleh tampilan kesalehan yang mencolok. Itu tercermin dalam keikutsertaan dalam majelis ilmu, keterlibatan aktif dalam proses tarbiyah setiap pekan, serta upaya memahami dan menghafal ayat-ayat Tuhan.

Sejatinya, menyebarkan ajaran agama telah menjadi bagian tugas dakwah yang mesti dijalankan dengan penuh semangat atas nama Tuhan. Namun, kompleksitas muncul ketika melihat sebagian individu menanggapi kesesatan. Dalam pandangan mereka, segala sesuatu di luar pemahaman kelompok atau bahan bacaan filsafat dan sejenisnya milik mereka, dianggap sesat dan penuh dosa.

Keironisan terlihat ketika perbandingannya dengan perlakuan terhadap tindakan kekerasan terhadap istri, yang sering kali dianggap enteng dan terabaikan. Memukul, memaki, dan memaksa istri untuk berbakti dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai alat tekanan adalah pola perilaku yang mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, dosa sepertinya kehilangan bobotnya, seakan-akan diabaikan.

Praktik-praktik ini merendahkan martabat perempuan dan menciptakan lingkungan yang jauh dari nilai-nilai sejati yang dianut dalam ajaran agama. Realitas kehidupan seringkali menunjukkan bahwa sebagian kaum laki-laki, dalam membawa agama, justru menggunakan ajaran-ajaran tersebut sebagai alat untuk menindas istri dan memaksa mereka untuk patuh dan berbakti. Meskipun ajaran Islam menekankan hubungan yang seimbang dan penuh kasih sayang antara suami dan istri, beberapa individu menggunakan interpretasi yang salah untuk mendukung perilaku dominan dan merugikan.

Penghargaan Martabat

Tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal, dilakukan dengan dalih melaksanakan ajaran agama. Padahal, itu bertentangan dengan nilai-nilai kasih sayang dan penghormatan dalam Islam. Rasulullah saw telah menunjukkan bahwa kasih sayang, keadilan, dan penghargaan terhadap hak-hak istri adalah bagian dari prinsip-prinsip Islam. Namun, ada yang menggunakan agama sebagai instrumen untuk menjaga kontrol dan dominasi dalam rumah tangga.

Sebagai individu, kita cenderung melihat pada penampilan luar dan terlalu cepat membuat penilaian berdasarkan yang terlihat di permukaan. Sementara penampilan visual dapat memberikan gambaran awal, akan lebih bijaksana jika kita tidak terjebak dalam kesan tersebut dan berusaha untuk melihat lebih dalam ke dalam hakikat seseorang. Rasulullah saw memberikan contoh teladan dalam hal ini.

Beliau menilai orang berdasarkan hati dan perbuatan mereka, bukan sekadar penampilan fisik. Beliau menunjukkan bahwa nilai sejati seseorang terletak dalam karakter, moralitas, dan kedalaman hati, yang sering kali tidak terlihat secara langsung. Memanggil kita untuk lebih memahami esensi ajaran agama dan mengkaji kembali bagaimana ajaran tersebut seharusnya diaplikasikan dalam hubungan suami-istri.

Mempelajari agama hingga ke hati haruslah membawa kita kepada pemahaman yang benar, yakni bahwa agama seharusnya menjadi sumber keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang dalam hubungan pernikahan. Sebaliknya, bukan sebagai dasar untuk menindas dan mengekang hak-hak istri.

Betapa mencengangkannya potret kehidupan di sekitar saya, tampilan kesalehan seringkali hanya bersifat kosmetik, menghiasi wajah luar tanpa mencerminkan substansi dan makna sejati dari ajaran agama. Keheranan ini mendorong kita untuk lebih kritis dalam membaca tanda-tanda kesalehan, tidak hanya melihat penampilan visual, tetapi juga memahami motivasi serta moralitas di baliknya.

Kesalehan Dangkal

Terlepas dari tampilan kesalehan yang mencolok, disayangkan bahwa banyak orang cenderung hanya “mempelajari” agama hingga tingkat pengetahuan yang sebatas permukaan, atau tidak sampai pada “tenggorokannya.” Dalam konteks ini, pengetahuan agama seringkali terbatas pada hafalan ayat atau norma-norma tertentu, tanpa upaya serius untuk memahami dan meresapi makna mendalam dari ajaran tersebut.

Hal ini menciptakan paradoks, di mana orang-orang mungkin menunjukkan kesalehan secara visual, tetapi kurang dalam memahami esensi ajaran agama. Mereka mungkin mengikuti ritual keagamaan, menghadiri majelis ilmu, dan menghafal ayat-ayat Tuhan, namun ketika datang pada pemahaman yang lebih mendalam atau penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, mereka terkadang kehilangan fokus. Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa agama bukanlah sekadar serangkaian aturan yang harus diikuti, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual dan intelektual yang memerlukan refleksi dan penghayatan.

Memahami agama hanya sebatas memahami ayat dan hadis, tanpa keinginan untuk mempelajari konteks yang melatarbelakanginya  dapat menghasilkan praktik keagamaan yang kosong dan kehilangan substansi moral yang seharusnya menjadi inti dari ajaran agama. Karena itu, tantangan kita adalah tidak hanya mempertahankan pengetahuan agama sebatas tingkat permukaan, tetapi juga menggali lebih dalam untuk meraih makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Untuk itu kita tidak boleh puas dengan kesalehan yang terlihat. Sebaliknya, kita perlu mendorong diri sendiri untuk menjadikan agama sebagai panduan hidup yang menginspirasi tindakan positif, empati, dan keadilan. Hanya dengan cara ini, kesalehan visual dapat menjadi cerminan dari kedalaman pemahaman dan implementasi nilai-nilai agama dalam menciptakan kehidupan yang lebih bermakna dan berarti. (*)

*Penulis merupakan alumni Fakultas Ushuluddin, UIN Alauddin Makassar

News Feed