English English Indonesian Indonesian
oleh

Tosora, Syekh Jamaluddin, dan Peninggalan Masjid Tua: Sebuah Selayang Pandang

Oleh: Firmansyah Demma, (Kordinator Desa KKNT Unhas Desa Tosora Wajo)

Tosora merupakan salah satu desa yang saat ini berada di Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan sejarah Kabupaten Wajo, Tosora mengambil peran strategis sejak masa kerajaan. Tosora dianggap sebagai daerah penting dalam perkembangan Kabupaten Wajo, dikarenakan pada masa lampau pernah menjadi Ibu Kota atau pusat pemerintahan Kerajaan Wajo.

Saat ini, Wanua Tosora bukan lagi merupakan satu daerah atau distrik khusus. Tetapi saat ini sudah terbagi menjadi lima desa yakni Desa Tosora, Desa Cinnongtabi, Desa Tellullimpoe, Desa Tua, dan Desa Tajo. Tapi walaupun demikian, masyarakat masih sering menyebut lima desa ini dengan sebutan Wanua Tosora.

Sepintas Tentang Asal-Usul Tosora

Pada umumnya, hampir semua tempat yang ada di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan tidak lepas dari cerita tutur yang berkembang dalam kehidupan masyarakatnya.

Cerita tutur menjadi semmacam referensi berbasis kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bisa saja, sebuah cerita tutur atau cerita rakyat berasal dari persaksian sekelompok orang atau satu generasi.

Dari hal itulah, masyarakat mempercayai dan memegang teguh nilai-nilai yang tertanam dalam sebuat cerita.

Seperti halnya Tosora, pemukiman ini bukanlah suatu daerah yang ujuk-ujuk langsung ada.

Berdasarkan cerita rakyat atau cerita tutur yang berkembang sampai saat ini, kata Tosora berasal dari adanya kisah seorang puteri dari Kerajaan Luwu bernama We Tadampali yang mengasingkan diri dengan berlayar lalu akhirnya mendarat di sebuah daerah yang saat ini bernama Tosora.

Nama Tosora diambil dari kisah tersebut, saat We Tadampali mendarat di sebuah tempat yang banyak buah pohon Bajo, sesuai pesan Datu Maongge, ayahnya. Tempat pendaratan tersebut kemudian dinamai Tosora, yang diambil dari bahasa Bugis dengan pergeseran bunyi, dari kata “Tau Sore” atau “To Sore”  yang berarti orang yang mendarat.

Bahkan, nama Kecamatan Majauleng juga tidak dapat dilepaskan dari kisah putri bangsawan Luwu itu. Konon, daerah yang didiami oleh We Tadampali  disebut Majauleng karena berasal dari kata “Maja Oli” yang dalam bahasa Bugis berarti berpenyakit kulit sebagaimana yang diderita oleh Puteri We Tadampali.

Demikian pula pada daerah dimana sang puteri dijilati kerbau belang lalu secara ajaib mengalami kesembuhan, juga dinamai “Sakkoli” berasal dari kata “Sakke’ Oli”,  yang dalam bahasa Bugis berarti sembuh atau sempurna kulitnya.

Ada banyak versi mengenai asal-usul Majauleng dan Tosora. Tetapi, diantara banyaknya versi, penulis cenderung lebih sepakat dengan cerita rakyat di atas.

Karena Puteri We Tadampali saat sembuh dari penyakit kulitnya ia berpesan kepada rombongan dan keturunannya agar tidak menyembelih dan memakan daging kerbau belang, sebagai suatu bentuk kesyukuran kepada Dewata Sewwae (Tuhan yang Maha Esa).

Dan ternyata, sampai saat ini, masih banyak masyarakat Wajo khususnya di Tosora yang berpantang menyembelih dan memakan kerbau belang. Artinya, masyarakat pun mempercayai kisah itu sebagai sebuah titik awal seluk beluk Tosora.

Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo

Seperti yang diulas oleh Arkeolog Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Akin Duli M.A dalam artikel penelitiannya yang berjudul “Peranan Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo Pada Abad XV-XIX”, Tosora dikatakan sebagai Ibu Kota Kerajaan Wajo pada masa lampau lantaran banyaknya bukti-bukti artefak yang tersisa sampai sekarang.

Seperti adanya Masjid Tua, Makam Waliyullah Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini, Geddonge (Gudang amunisi), bekas Benteng Pertahanan, bekas Pelabuhan, peralatan perang seperti Meriam, dan Makam Kuno beberapa Raja Wajo.

Dengan masih adanya semua bukti-bukti artefak sampai saat ini, menegaskan bahwa tosora memanglah sebuah ibu kota kerajaan di masa lampau. Karena semua sisa-sisa peninggalan sejarah secara logis adalah perwujudan dari adanya suasana pusat pemerintahan.

Misalnya dengan adanya danau seppangnge di sebelah barat Masjid Tua Tosora pertanda bahwa pernah ada pelabuhan yang kemungkinan besar menjadi pusat perniagaan, tempat orang melakukan jual-beli atau transaksi pelayaran.

Di area danau itu juga terdapat Geddongnge yang merupakan pusat penyimpanan sejumlah alat perang atau persenjataan. Juga adanya Masjid Raya yang menjadi pusat syiar-syiar Islam.

Selain pertimbangan di atas, letak Tosora secara geografis sangatlah strategis karena kondisi ekologisnya yang baik. Hal tersebut dikarenakan Tosora memiliki topografi yang terdiri daerah perbukitan dan dataran rendah yang sangat ideal bagi masyarakat untuk mengembangkan pertanian dan perkebunan.

Salah satu tolok ukur sebuah daerah yang disebut kota adalah potensi yang dimilikinya untuk menunjang sistem sosial, kebudayaan, dan perekonomian masyarakat. Bahkan, dari beberapa catatan sejarah dan tutur masyarakat dari generasi ke generasi, Tosora merupakan pelanjut dari Kerajaan Cinnongtabi.

Kerajaan Cinnongtabi sendiri ialah kerajaan pertama yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan Wajo (Hadimulyono, 1985:20). Jika Tosora kelanjutan dari Kerajaan Cinnotabi maka secara otomatis istana kerjaan pun berpindah. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti letak bekas Istana Kerajaan Wajo di Tosora.

Tosora diperkirakan menjadi Ibu Kota Kerajaan sebelum masuknya Islam pada Tahun 1610, tetapi ada juga yang mengatakan Tosora resmi menjadi Ibu Kota Kerajaan Wajo bersamaan dengan dianutnya Islam secara resmi oleh Arung Matowa Wajo XII La Sangkuru Patau Mulajaji yang bergelar Sultan Abdul Rahman.

Akan tetapi, menurut hemat penulis, bisa saja suasana Ibu Kota dan spirit keislaman sudah tercipta di Tosora sebelum adanya legitimasi terhadap keduanya oleh raja yang memimpin di masanya.

Assyeikh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar dan Peninggalan Masjid Tua

Terlepas dari banyaknya bukti artefak di Tosora seperti yang tersebutkan di atas, yang paling sering dikunjungi oleh banyak orang adalah situs Masjid Tua yang saat ini berada tepat di samping kiri Baruga La Salewangeng Tosora.

Berdasar pada cerita tutur masyarakat setempat dari masa ke masa dan beberapa artikel arkeolog, Masjid Tua Tosora menjadi Masjid Raya pertama Kerajaan Wajo yang dibangun pada tahun 1621 tepatnya pada pemerintahan Arung Matowa Wajo VX La Pakallongi To Allinrungi.

Menurut sumbernya, saat masjid tersebut diresmikan dihadiri oleh Raja Gowa, Raja Bone, dan Datu Soppeng (Patunru, 1983).  Seperti Masjid Tua pada umumnya yang ada di Sulawesi Selatan, bangunan Masjid Tua dibangun menggunakan batu alam yang dari cerita turun temurun direkatkan dengan putih telur. 

Saat ini, Masjid tersebut sudah menjadi Cagar Budaya sehingga mendapatkan perlindungan secara hukum. Sampai saat ini, Masjid Tua itu mendapat perhatian serius oleh banyak orang. Bahkan, ada yang memberikan bantuan fasilitas untuk menjaga kelestariannya.

Melihat fenomena tersebut, kita tentu bertanya-tanya mengapa begitu banyak yang tertarik mengunjungi bangunan masjid itu. Mengenai itu, penulis meyakini bahwa ketertarikan orang-orang berkunjung pada situs tersebut bukan hanya karena adanya bangunan Masjid Tua semata, Melainkan karena adanya situs makam-makam bersejarah di dalam area Masjid tersebut.

Salah satu makam yang paling dikenal adalah makam cucu Rasulullah yang ke-19 bernama Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini. Dari beberapa sumber sejarah, termasuk cerita tutur masyarakat setempat, Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini merupakan orang yang pertama menyebarkan Islam di Wajo.

Di Jawa ia dikenal dengan nama Maulana Husain Jumadil Kubro. Bahkan, berdasarkan silsilah yang dikeluarkan oleh Yayasan Al-Khidmah Badan Pengelola Pondok Pesantren Al-Fithrah Surabaya, ia merupakan kakek buyut dari para Wali Songo yang ada di jawa.

Mengenai Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husain, dikutip dari buku berjudul Biografi Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain yang ditulis oleh Ambo Tang Daeng Materru, H. Abdul Salam Mas’ud mengatakan, bahwa sebelum makam cucu Rasulullah itu dikenali identitasnya di Sulawesi Selatan khususnya di Wajo – Tosora, ia dikenali dengan sebutan Petta WaliE yang dalam bahasa Bugis berarti ‘Tuan Kita Sang Wali’.

Dari sumber yang ditelah ditelusuri oleh penulis, rupanya Wali Allah itu memiliki beberapa gelar. Ia juga bergelar Azamatkhan (gelar di India), Al-Akbar (gelar sebagai umara), Jamaluddin (gelar sebagai ulama), Jumadil Kubro (gelar di Jawa), To Abba (gelar di Champa).

Sekitar tahun 1997 setelah Makamnya di Tosora – Wajo diziarahi oleh Gusdur dan rombongan peziarah dari Jawa Timur, barulah kemudian terungkap siapa sosok itu sebenarnya sehingga sejak saat itu sampai saat ini masyarakat Wajo -Tosora mengenalnya sebagai cucu Rasulullah ke-19 yang bernama Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini.

Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini diperkirakan lahir pada tahun 1270 di Malabar – India. Ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 1310 dan 1336. Tempat kelahirannya pun terdapat persilangan pendapat, ada yang mengatakan di Malabar, ada juga yang beranggapan di Nashr – Abad dan di Agra.  

Sejauh ini, belum ada informasi pasti terkait kapan dan dimana ia lahir. Yang jelas, Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini memanglah seorang penyiar agama yang mengarungi samudra untuk menyiarkan agama Islam di beberapa tempat termasuk di Nusantara (Indonesia).

Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini diperkirakan datang ke Tosora pada tahun 1396 sebelum terjadinya perang Paregreg di Majapahit.

Penulis merujuk pada publikasi Martin van Bruinessen seorang peneliti dan antropolog dari belanda yang berjudul Najamuddin Al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin Al-Akbar; Traces of Kubrawiyya Influence in Early Indonesian Islam, bahwa Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini pernah menyebarkan Islam di Jawa Timur pada Tahun 1392, tepatnya di Desa Leran lalu menyasar daerah Trowulan Majapahit.

Artinya, secara logika ia bergerak ke Tosora yang saat itu masih dikenal dengan nama Cinnotabi empat tahun setelah ia mensyiarkan Islam di Jawa Timur.

Masuknya Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini di Tosora disinyalir melalui jalur ‘Danau Besar’ yang menghubungkan teluk Pare-Pare dengan teluk Bone. Dalam catatan Manuel Pinto yang berasal dari Portugis dan pernah mengunjungi danau itu mencatat, bahwa penduduk setempat menamakan danau itu dengan sebutan ‘Tappareng Karaja’ (danau besar).

Jika di analisis, Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini berdakwah di Sulawesi Selatan (Tosora – Wajo) kurang lebih lima puluh tujuh tahun.

Penulis merujuk pada tahun kedatangannya dan tahun wafatnya. Pada sumber yang ditelusuri oleh penulis, tokoh tersohor itu wafat pada tahun 1453.

Semoga analisis penulis bukan merupakan bagian dari kekeliruan. Tapi terlepas dari itu semua, keberadaan Masjid Tua dan Makam Assyeikh Jamaluddin Al-Habib Al-Akbar Al-Husaini merupakan bukti bahwa Tosora adalah kota metropolitan yang kental dengan ajaran Islam.

News Feed