English English Indonesian Indonesian
oleh

Model Pemilihan Kepala Daerah Murah

Oleh : Abbas Hady,
Mantan Birokrat

Pada akhir tahun lalu, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bersama dengan Pimpinan MPR-RI sepakat mengajukan rekomendasi kepada Presiden untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung, yaitu melalui DPRD. Keputusan ini telah mengejutkan saya.

Saya masih ingat betul pada awal tahun 2000-an, ketika sistem pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (beserta wakilnya) sangat dipertanyakan dan ditolak oleh masyarakat sipil. Salah satu alasan utamanya adalah kepala daerah yang dipilih melalui mekanisme ini dianggap kurang memiliki legitimasi karena tidak melibatkan aspirasi langsung dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Pada saat itu, DPRD dianggap tidak mewakili keinginan pemilih. Realitas politik itulah yang kemudian memicu lahirnya sistem pemilihan kepala daerah atau Pilkada langsung.

Namun, setelah hampir seperempat abad berlalu, sistem pemilihan kepala daerah langsung ini akhirnya memberikan pelajaran penting; terdapat banyak masalah yang menyertainya. Praktik politik uang menjadi marak, konflik sosial horizontal tak terhindarkan, dan soliditas serta profesionalisme birokrasi pemerintah daerah menjadi tergoyahkan dan rapuh. Bahkan, faksi-faksi fragmen birokrat semakin mewabah di mana-mana.

Dalam menghadapi realitas ini, saya merasa terdorong untuk kembali membuka memori mengenai gagasan alternatif dalam pemilihan kepala daerah yang sudah bertahun-tahun bergelayut di otak saya, seperti yang saya jelaskan pada bagian akhir tulisan ini.Gagasan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama. Ketika partai politik (Parpol) mengusulkan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota kepada KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), mereka pada saat yang sama juga harus menetapkan dan mencantumkan nama calon kepala daerah yang mereka usung. Nama-nama ini juga disampaikan kepada KPUD.

Kedua. Calon kepala daerah yang diusulkan oleh setiap partai, bersamaan dengan calon anggota legislatif, kemudian ditetapkan sebagai Calon Kepala Daerah Tetap. Pada tahapan ini, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tetap mendapatkan hak dan kesempatan untuk memilih figur calon kepala daerah yang mereka kehendaki. Caranya adalah dengan memilih partai atau salah satu calon legislatif partai yang mengusung calon kepala daerah tersebut.

Ketiga. Partai politik pemenang urutan pertama dan kedua, calon kepala daerahnya langsung ditetapkan oleh KPUD sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih, seiring dengan pengumuman hasil rekapitulasi suara calon legislatif dan partai politik oleh KPUD.

Keempat. Jika Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah mengalami halangan, Ketua atau Wakil Ketua DPRD dari Partai Pengusung dapat menggantikannya.

Kelima. Jabatan Kepala Organisasi Perangkat Daerah/Satuan Kerja Perangkat Daerah (OPD/SKPD) menjadi jabatan politis, bukan lagi jabatan karier bagi seorang ASN (Aparatur Sipil Negara), seperti saat ini. Oleh karena itu, rekrutmen untuk jabatan Kepala OPD/SKPD menjadi sangat terbuka dan merupakan hak prerogatif Kepala Daerah.

Keenam. Untuk memperkuat dukungan di parlemen, koalisi partai politik pemenang pertama dan kedua dapat diperluas dan diperkenankan.

Ketujuh. Dengan model pemilihan ini, frekuensi dan intensitas praktik dukung-mendukung birokrasi akan semakin meredup. Hal ini disebabkan oleh ekspektasi karier untuk menjadi Kepala OPD/SKPD yang dominan mendorong keterlibatan ASN menjadi semakin tipis. Politik uang dapat ditekan, dan oleh karena itu, salah satu akar penyebab perilaku koruptif juga dapat dihilangkan. (*)

News Feed