English English Indonesian Indonesian
oleh

ICSIS 2023 UINAM Dihadiri 113 Pemakalah dari Dua Negara

Lalu ada Prof. Shahid Bashir dari Business School, Technologico de Monterrey (Mexico) dan Prof. Najma Moosa dari University of the Western Cape (Republic of South Africa).

Pada pembahsan Mun’in Sirry, pembicaraan moderasi beragama di Indonesia masih sebatas wacana moderator atau yang lebih dikenal dengan istilah Islam Wasathiyah. Padahal menurutnya, moderasi beragama lebih dari sekadar itu. Mun’in menyebutkan pembahasan moderasi beragama bisa dilihat pada empat aspek. Perspektif tentang moderasi beragama, cara mendiskusikan moderasi agama, akar moderasi dalam agama, dan tantangan moderasi beragama.

Mun’in juga menyebutkan moderasi di Indonesia belum tumbuh secara subur. Tantangan yang dihadapi yang pertama bahwa kalau kita melihat dunia silam, maka moderasi agama mengalami defisit dibandingkan dunia Kristen maupun yahudi.

“Moderasi beragama di dunia islam relatif lebih rendah. Pembatasan agama dan permusuhan sosial cenderung tinggi dan ini sudah dilakukan penelitian. Persoalannya apa yang menjadi faktor sehingga moderasi beragama tidak tumbuh subur,” tambah Mun’in.

Pertama, kata Mun’in penafsiran konservatif masa lalu yang tidak tepat termasuk pemilihan ayat untuk menjelaskan moderasi. Kedua, ada momen imperial, ulama-ulama muslim menafsirkan ayat ayat alquran untuk menegaskan superioritas mereka atau kekuasaan mereka.

Ketiga, adanya kemandegan intelektual. Banyak sarjana yang telah mengekspresikan dengan kemandegan intelektual ini. ”Umat islam kehilangan daya dobrak, mengutip dari Nurcholis Madjid sehingga kita tidak berkembang. Kita juga mengalami dekadensi, keterbelakangan. Selain itu ada juga tertutupnya pintu ijtihad atau rethinking sehingga itulah yang membuat kita mengalami kemunduran,” jelas Mun’in.(Rls)

News Feed