English English Indonesian Indonesian
oleh

Rektor Unhas Curhat UKT: Perguruan Tinggi Masuk Jebakan?

Tentang “jebakan PTNBH” (PTNBH trap) ini, sebagai sedikit refleksi, penulis jadi teringat pada sebuah peristiwa sekitar sepuluh tahun lalu, kala belasan aktivis Mahasiswa UNHAS berkumpul di gedung Lephas Unhas — yang sekarang sudah diratakan dan diganti dengan bangunan baru milik salah satu Bank BUMN. Bangunan itu, seperti salah satu monumen eksistensial dari kemenangan lolosnya PTNBH (Perguruan Tinggi Berbadan Hukum) di Unhas.

Di tempat itu, pada suatu sore, Direktur Lephas kala itu yang merupakan teman diskusi para aktivis Makassar, membawa satu paper tentang pandangan tokoh yang diundang Unhas dalam salah satu pertemuan tentang persiapan Unhas menuju PTNBH pasca disahkannya UU Perguruan Tinggi No.12 tahun 2012. Kejadian itu di sekitar pertengahan 2012, dan tokoh yang diundang salah satunya adalah Dr. Anhar Gonggong — Sejarawan, Tokoh Nasional yang berasal dari Sulawesi Selatan.

Paper Anhar Gonggong pula lah yang dibawa oleh Direktur Lephas kala itu, Pak Alwy Rachman—para aktivis umumnya menyapa kak Alwy. Penulis sempat menyaksikan sampul paper itu, tapi tak berani membukanya. Tebal juga memang. Hanya cerita di balik isi paper itu yang menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah peringatan para narasumber, termasuk pak Anhar Gonggong agar Unhas jangan sampai masuk “jebakan”. Salah satu jebakan yang dijelaskan oleh Pak Anhar menurut Pak Alwy adalah Jebakan Pentagon (pentagon trap). Termasuk jebakan – jebakan lainnya yang Unhas perlu perhatikan dan jika perlu hindari. Begitu kira – kira yang penulis tangkap dari obrolan sore yang berlanjut hingga larut malam itu.

Bagi penulis dan jamak teman – teman aktivis di Unhas, Makassar, bahkan se-Indonesia, nasib Perguruan Tinggi hari ini sesungguhnya sudah diprediksi sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Termasuk, keluhan akan mahalnya biaya kuliah yang datang dari Mahasiswa dan orang tua Mahasiswa. Yang tidak diprediksi memang adalah bahwa akan ada rektor yang “curhat” tentang mahalnya UKT Mahasiswa. Mungkin rasa prihatin Rektor sama, namun di posisi dan orientasi berbeda dari Mahasiswa dan orang tuanya. Bisa jadi.

Latar penolakan

Karena analisis para aktivis mahasiswa dan masyarakat penolak UU BHP hingga UU PT menyimpulkan bahwa akan ada komersialisasi pendidikan di balik kedua Undang – Undang itu, maka gelombang protes dan penolakan di seluruh Indonesia terus mengalir. Di Makassar apalagi. Di Unhas jangan dibilang. Kekhawatiran para Mahasiswa sebenarnya sederhana, namun sangat mendasar. Negara harus ikut serta membiayai pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi, agar rakyat tidak terbebani dengan biaya pendidikan tersebut yang sudah pasti akan tinggi.

Kekhawatiran yang disertai analisis mendalam itulah yang rupanya terjadi sekarang. Apalagi di sepanjang tahun 2020-2022, selama pandemi, ribuan mahasiswa tak mampu membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal). Sebabnya adalah ramai orang tua mereka di PHK dan kehilangan pendapatan. Jangankan bayar uang kuliah, untuk bertahan hidup sehari – hari saja susah. Akibatnya, kampus – kampus pun banyak kekurangan pemasukan untuk membiayai operasionalnya.

Tuntutan mahasiswa dan rakyat selama ini sesungguhnya ada dua: biaya kuliah murah dan sekaligus berkualitas. Seolah bertolak belakang dengan asumsi umum bahwa kalau mau berkualitas harus mahal, olehnya itulah negara harus hadir di situ. Memastikan biaya tersedia dan hasil pendidikan tersebut berkualitas. Tanpa campur tangan negara,  alias ketika negara lepas tangan, terutama dalam

pembiayaan, maka pendidikan berkualitas memang akan bersanding dengan biaya yang mahal.

Itulah mengapa, Undang – Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)  yang disahkan tahun 2009, lalu dibatalkan MK tahun 2010, dan Undang – Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) No.12 tahun 2012 yang berlaku hingga sekarang, ditolak dan ditentang sejak masih menjadi rancangan hingga setelah disahkan.

Spirit UU itu  adalah “otonomi” — termasuk otonomi keuangan yang membenarkan negara lepas tangan. Olehnya itu, deretan UU tersebut dinilai turut melegitimasi lepas tangannya negara dalam membiayai pendidikan tinggi di Indonesia.

Pendeknya, kampus disiapkan untuk mencari uang sendiri untuk membiayai dirinya. Jika tidak, memeras mahasiswa dan mengebiri upah dosen dan pegawai tak mengapa. Itu kenapa dari awal hingga kini terus ditolak dan ditentang.

Dari Jebakan Pentagon, Neoliberalisme hingga Jebakan Menengah ke Bawah

Jebakan demi jebakan sesungguhnya mengintai Indonesia sebagai negara bangsa. Khususnya sebagai negara pasca-kolonial yang kaya Sumber Daya Alam dan jumlah penduduk, Indonesia merupakan incaran negara – negara besar maupun pemilik – pemilik modal besar. Indonesia adalah sumber bahan baku sekaligus pasar potensial. Termasuk sektor pendidikan Tingginya yang akan banyak penduduknya membutuhkan jasa itu. Olehnya, menguasainya juga akan memberikan keuntungan besar. Jadilah pendidikan tinggi Indonesia dilihat sebagai komoditas pasar menggiurkan. Maka dirancanglah untuk menguasainya oleh para pemilik uang. Dari situ, dipasang pulalah jebakan – jebakan untuk memuluskan jalan itu.

Jebakan pentagon (jebakan segilima) adalah jebakan pertama. Seperti salah satu isi paper Anhar Gonggong yang disinggung di awal tulisan ini. Lima isi jebakan ini adalah liberalisasi perdagangan alias perdagangan bebas, demokrasi, HAM (Hak Asasi Manusia), HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), Lingkungan Hidup dan Demokrasi. Perdagangan bebas adalah jebakan paling mengerikan dari keempat lainnya. Bagaimana tidak, perdagangan bebas ini terkait dengan agenda neoliberalisme yakni privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Terutama privatisasi dan liberalisasi, pendidikan tinggi Indonesia merupakan “komoditas” di sektor jasa yang diincar untuk diliberalisasi dan diprivatisasi lalu diperdagangkan secara bebas.

Jika demikian, jadilah perdagangan bebas pendidikan tinggi tak terhindarkan. Ibarat barang dagangan, semakin bagus kualitasnya, semakin mahal harganya. Maka, jangan heran jika UKT pada jurusan dan program studi yang dinilai berkualitas dan ramai peminat, mahalnya selangit.

Jebakan kedua adalah jebakan neoliberalisme sebagai hasil konsensus Washington, yang masih terkait dengan jebakan pentagon di atas. Liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi adalah agendanya. Sektor – sektor publik yang strategis seperti pendidikan dan kesehatan harus dilepas ke pasar, diserahkan ke sektor swasta (swastanisasi), subsidinya dicabut dengan alasan efisiensi, serta dibuatkan aturan baru untuk memuluskan agenda itu.

Selanjutnya, aturan – aturan yang merepotkan swasta untuk menguasai sektor – sektor strategis, harus dikurangi (deregulasi). Pun, jika harus ada aturan, mestilah aturan yang melegitimasi dan memudahkan penguasaan swasta atas sektor publik strategis itu. Salah satunya UU PT yang sekarang ini yang melahirkan PTN BH dan BLU yang membuat biaya kuliah (UKT) makin tak terbeli.

Pada akhirnya, kampus – kampus yang terjebak oleh pentagon dan neoliberalisme di atas turut bertanggung jawab atas hadirnya jebakan ketiga: jebakan menengah ke bawah. Baik itu pendapatan menengah ke bawah maupun produktivitas menengah ke bawah. Maksud pendapatan di sini adalah pendapatan dosen dan staf, bukan pendapatan rakyat secara umum.

Dosen dan staf di kampus berstatus BLU dan PTN BH akan mengalami yang namanya “pengetatan anggaran”. Sebabnya, terutama terjadi di kampus yang tak mampu cari uang sendiri melalui skema kerjasama dan pemanfaatan aset Universitas. Jika itu terjadi, seperti layaknya perusahaan pada umumnya, penghematan paling gampang adalah dengan memotong “upah pekerja”. Setali tiga uang dengan cara paling mudah mendapat uang yaitu naikkan harga “komoditas”, dan cabut subsidi. Naikkan harga UKT dan harga BBM misalnya, semua jadi mahal karena subsidi dicabut.

Dengan upah yang kena potong, dan tidak naik – naik di tengah melambungnya harga – harga, maka dosen dan staf kampus terancam “tidak kemana – mana” kesejahteraannya. Jika tak terjebak di tengah — kaya segan miskin tak mau— dosen dan staf ini terancam turun ke level berpenghasilan bawah. Bahkan, bukan tak mungkin, bagi yang berstatus honorer atau non-PNS, akan terancam di-PHK atas nama “efisiensi” dan reformasi birokrasi — serta beragam istilah pembenaran – pembenaran lainnya. Akibatnya, produktivitas dosen dan staf menjadi menurun. Nasib Mahasiswa pun, terancam terbengkalai.

Quo vadis Universitas kita?

Dari alasan – alasan penolakan beserta jebakan – jebakan yang mengelilingi perguruan tinggi di atas, maka sampailah kita ke pertanyaan: hendak ke mana (Quo vadis) Universitas kita?

Dengan status BLU dan PTN BH dimana negara perlahan dan pasti melepaskan tanggungjawab pembiayaannya, maka jalan apakah yang akan diambil untuk keluar dari jebakan – jebakan di atas? Apakah kembali ke skema sebelumnya yakni negara mesti kembali dipaksa untuk membiayai penuh, atau justru meneruskan skema liberalisasi dan privatisasi yang sudah terjadi sekarang?

Ibarat kata “kepalang basah, mending mandi sekalian”,

Universitas berarti perlu merubah kultur dan strukturnya dari mentalitas dan perilaku birokrat ke mentalitas dan perilaku korporat.

Jika jalan pertama yang dipilih, perlu upaya untuk mendesak pemerintah agar aturan sekarang diubah ke aturan yang mengembalikan negara dalam bertanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Namun, jika tetap ingin melanjutkan yang sekarang, Universitas mesti mengubah diri menjadi ala korporat — perbaiki “nilai jual” diri, benahi sistem, perbanyak kerjasama komersial, dan memaksimalkan manajemen dan produktivitas aset – aset yang dimiliki.

Ibaratnya, sekalian lepas sabuk pengaman jika tak ingin kembali pulang. Kalau tidak, dan terusdilanda andi lau — antara dilema dan galau—maka benar kata Rektor Unhas, masih di curhatnya beberapa waktu lalu, bahwa Universitas tidak akan ke mana – mana, sulit berkembang, bahkan terancam “kolaps” atau “ambruk” sebagai institusi.

Hidup segan, mati tak mau. Mundur malu, maju tak mampu”.

Akankah demikian?

Semoga tidak. (*)

OLEH: Ulla Mappatang, Alumni Universitas Hasanuddin

News Feed