English English Indonesian Indonesian
oleh

Wartawankah Dia?

OLEH: Abdul Gafar, Pendidik di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar

Hari ini (9/2) wartawan di seluruh negeri kita memeringati kelahirannya yang ke-77. Wartawan sebagai pilar keempat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan ujung tombak yang harus selalu diasah ketajaman dan kemampuannya di bidang pemberitaan. Negeri ini dapat terlihat baik atau buruk, sehat atau sakit dapat tecermin dari isi pemberitaan yang disampaikan kepada publik. Tentu saja sang wartawannya harus ‘sehat dan baik karakternya’.

Menyadari kondisi itu, PWI Sulsel mengadakan Pelatihan Jurnalistik Dasar dan Lanjutan bagi wartawan berlangsung 23 Januari 2023 di Makassar.

Anggota Dewan Kehormatan PWI Sulsel Faisyal Syam dalam pelatihan tersebut menegaskan integritas menjadi hal yang sangat penting utuk menjaga muruah profesi wartawan. Sebab tanpa integritas, produk jurnalistik bisa saja simpang siur dan membahayakan bagi masyarakat luas. Perlu pemahaman terhadap Undang-Undang Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

“Banyak fenomena wartawan mampir ke sekolah, instansi pemerintahan, menemui pejabat dengan bahasa yang mengarah pada ancaman. Tetapi ujung-ujungnya minta tolong dibantu anggaran. Ini dilakukan oleh wartawan tidak profesional. Tugas wartawan hanyalah berkutat pada produk berita dengan berimbang. Menyajikan informasi faktual, dan memberikan edukasi kepada pembaca”.

Sementara Suwardi Tahir Wakil Ketua PWI bidang Pendidikan mengatakan bahwa wartawan perlu tiga pedoman dalam menjalankan tugasnya. Demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Tidak boleh memberitakan sesuatu yang tidak punya fakta. Tidak boleh menghilangkan unsur keadilan. Menghargai supremasi hukum, artinya wartawan harus menjunjung tinggi hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi. Jangan membuat berita hanya berdasarkan asumsi. Harus ada konfirmasi”,katanya.

Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, mengatakan dalam Bab II Pasal 3 (1)” pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”

Seorang wartawan yang baik pasti hapal benar peran pers pada pasal 6 yaitu : (a).” memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (b). menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Azasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan, (c). mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (d). melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (e). memperjuangkan keadilan dan kebenaran”.

Kerja seorang jurnalis diuraikan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam 9 Prinsip Jurnalisme disarikan oleh Dudi Sabil Iskandar dalam bukunya “Keruntuhan Jurnalisme” yaitu : (1). Kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran, (2). Loyalitas utama jurnalisme kepada warga, (3). Disiplin dalam melakukan verifikasi fakta, (4). Jurnalisme harus menjaga independensi dari objek liputannya.(5). Memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas, (6) Jurnalisme harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi (7). Jurnalisme harus memikat dan relevan, (8). Kewajiban Jurnalis adalah menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif, dan (9). Jurnalis diperbolehkan utuk mendengarkan hati nuraninya.

Sementara Prinsip Jurnalisme Bill Koplak dan Top Sentimental versi Dudi Sabil Iskandar (1). Kewajiban utama adalah pencarian kemenangan, (2). Loyalitas utama Jurnalisme kepada warga yang sanggup membayar, (3). Disiplin dalam memperkosa fakta, (4). Jurnalis harus bergantung kepada pemilik modal dan pengiklan, (5). Mencari dan terlibat memerebutkan kekuasaan, (6). Jurnalisme sebagai pembangun agenda setting bagi media, pemilik, dan pengiklan serta menciptakan benih konflik, (7). Jurnalisme tidak memikat, yang penting laku dijual, rating, dan sharingnya tinggi (8). Kewajiban jurnalis adalah membuat berita parsial sesuai yang berkepentingan, dan (9). Jurnalis diperbolehkan mengumbar hawa nafsu dan mengejar syahwat kekuasaan.

Apa yang dikemukakan di atas sesungguhnya merupakan lampu kuning yang siap-siap menjadi merah. Mental wartawan perlu dibenahi terus-menerus. Jangan membiarkan muncul wartawan-wartawan ‘pemeras’ bergentayangan dalam masyarakat. Mengatasnamakan media yang diwakilinya. Bahkan sampai masuk mengatur ke dalam ranah kebijakan pimpinan instansi untuk kepentingan pribadinya. Mereka inilah yang ‘perlu dan wajib’ untuk diskrening ulang menyangkut integritas dan perilakunya.

Pengalaman penulis pernah menjumpai wartawan seperti ini. Mengandalkan Kartu Pers untuk wawancara. Tetapi penulis tolak karena termasuk WTS (Wartawan tanpa Surat Kabar) kelas ecek-ecek. Ada lagi yang datang ke kantor pemerintah mencari sang pejabat ternyata ‘hanya’ untuk mencari amplop. Menurut Alwi Hamu tokoh Pers Nasional mengatakan “ada Pers yang Sehat, ada Pers yang Sakit”. Akibatnya, bagi pers yang sakit, wartawannya pun terlihat sakit.

Kita membutuhkan wartawan yang sehat, betul-betul profesional dengan integritas yang tinggi. Sebagai pembawa obor penerang di tengah kegelapan belantara kehidupan yang ganas. (*)

News Feed