English English Indonesian Indonesian
oleh

Genitnya Pemerintah dan Kiamat Kebudayaan

Wali ‘genit’ vs Landasan Filosofis UU Pemajuan Kebudayaan

Menyoal peran perwalian yang acap gagal dalam meingimplementasikan kehendak memperbaikinya. Kasus peminggiran bissu dalam ritual Mattompang arajang merupakan contoh nyata gagal pahamnya pemerintah provinsi Sulsel dan Bone terhadap landasan filosofis UU pemajuan kebudayaan.

Berdasarkan naskah akademik UU Pemajuan Kebudayaan, dalam poin hak-hak berkebudayaan, landasan filosofis dibuatnya aturan tersebut adalah hak dasar manusia Indonesia beserta perangkat kebudayaannya untuk menjadi bebas (freedom to be free), seperti yang tercantum dalam alinea pembukaan UUD 1945 serta Lima Sila dalam dasar negara, yang menjadi pengikat sekaligus pedoman berwarga dan bernegara di republik ini. Filosofi yang dianggap melampaui Magna Charta 1215 dan deklarasi HAM PBB yang terbentuk setelahnya.

Bebas pada terma tersebut dalam pengertian berhak mengatur diri atau komunitasnya sendiri dalam melaksanakan praktik kehidupannya menuju kepada kesejahteraan. Tentu saja dengan ‘dukungan’ pemerintah tempat komunitas tersebut hidup. Namun yang terjadi pada perhelatan akbar HJB ke-692, ‘diri’ sekaligus ‘kelompok budaya’ (baca: Bissu) malah cenderung disingkirkan dari lanskap kebudayaannya. Terlebih kebebasannya dicerabut oleh ‘anak negerinya sendiri’. Sungguh sebuah ironi dalam alegori ‘pemajuan kebudayaan’.

Poin kebebasan di atas, juga menegaskan tupoksi struktur pemerintahan negara untuk ‘wajib’ berlaku adil terhadap kehidupan masyarakat banyak tanpa memandang batas-batas ras, etnik, golongan, terlebih agama untuk menuju pada kondisi ‘Bonum Commune’, kebajikan/kesejahteraan untuk semua. Tujuan utama dari sebuah negara demokrasi. Sebab pada dasarnya negara republik Indonesia terkonstruksi dari begitu banyak imajinasi serta keragaman budaya yang tidak sekadar ‘ada secara bersama’ (exist) tetapi juga harus dihidupi secara—meminjam istilah Alm. Ishak Ngeljaratan—‘bersesama’ (co-existence) dan menerimanya (acceptance) sebagai sebuah realitas kebernegaraan.

News Feed