English English Indonesian Indonesian
oleh

Genitnya Pemerintah dan Kiamat Kebudayaan

Sebagai suatu pranata kebudayaan, komunitas bissu dan relasi kosmologis yang melingkupinya merupakan warisan peradaban yang bukan sepele. Bahkan warisan berbasis kearifan budaya ini boleh dikata satu-satunya yang tersisa di bawah naungan matahari. Ia telah melewati atau kalau tidak berlebihan disebut ‘melampaui’ berbagai pelik lini masa sejarah peradaban. Mulai dari era yang acap dikata ‘mitos’ (To Manurung), kerajaan lama, kekerasan budaya berdalih agama baru, sampai era negara-bangsa kontemporer saat ini yang praktik sosioekonomipolitiknya cenderung kental diwarnai puritanisme agama.

Dalam beberapa tinjauan atau studi-studi budaya, komunitas bissu dianggap sebagai salah satu komunitas budaya yang mewakili sejarah perjalanan terbentuknya Negara RI beserta nilai-nilai ‘kewargaan’ serta kebangsaan yang ‘otentik’ dalam konteks Indonesia (Graham, 2021, 2002; Halilintar Latief, 2004; Pelras, 2006; Yusran. Suliyati, 2018; Feby Triadi, 2019; dsb). Nilai-nilai yang dimaksudkan tersebut mengejawantah dalam bentuk ‘tubuh’ publik bissu sebagai sosok nirgender pemimpin ritual kepercayaan bugis kuno. Yang kemudian berusaha dijaga pun dilestarikan ‘kearifannya’ melalui perangkat hukum negara (UU RI no. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan).

Yang acap terjadi kemudian, perangkat hukum yang bertujuan melindungi dan melestarikan kearifan tersebut, pada praktiknya mengalami mis-interpretasi ditingkat struktural provinsi serta kabupaten/kota. Persoalan tersebut berkaitan dengan peran perwalian yang telah dibuka secara singkat di atas. Dalam hal ini, ‘kegagalan interpretasi para wali’ yang dimaksud berkaitan dengan konteks ‘peminggiran’ Komunitas Bissu pada perhelatan HJB ke-692 beberapa waktu lalu.

News Feed