Intensitas mengaji kita dari usia muda yang rupanya menentukan berapa jumlah surat yang kita hafal. Hafalan itu menjadi penting, bukan karena kita ingin jadi imam shalat tarawih, atau imam rawatib di masjid, tapi untuk perbekalan saat melakukan shalat lima waktu. Intensitas mengaji kita-lah yang menentukan sehingga ada yang hafal 30 juz dan ada yang hafal juz 30, atau bagian akhir dari juz 30. Dari intensitas inilah yang akan menjadi “modal personal” dan “brand” keagamaan kita, yang berdampak secara kondisional menjadi “modal sosial”.
Muncullah banyak anekdot yang terkait dengan hafalan Qur’an. Salah satu yang umum adalah berikut ini. Tersebutlah seorang ayah mengetes tiga pemuda yang datang melamar anak perempuannya. Ayah ini adalah seorang santri, dan dia harus memastikan bahwa calon menantunya memiliki banyak hafalan.
Singkatnya, dia tanya pemuda pertama. Siapa namamu? Dia menjawab, Ikhlas. Lalu disuruh menghafal surat al-Ikhlas. Pemuda itu dengan percaya dirinya menghafalkan surat pendek tersebut. Lalu pemuda kedua dipanggil, siapa namamu? Nama saya, Kausar. Disuruh menghafal surah al-Kautsar. Dengan tenang pemuda itu menghafal surat terpendek dalam Qur’an. Pemuda yang ketiga keringat dingin, lalu Ayah perempuan itu bertanya mengapa keringat begitu padahal belum ditanya. Siapa namamu? Pemuda ketiga itu menjawab, nama saya Yasin, tetapi teman-teman memanggil saya: Kulhu.