English English Indonesian Indonesian
oleh

Fakta Sains Ilmiah Arah Kiblat Sulsel

Oleh: Fathur Rahman Basir*

Rumusan batas toleransi kemelencengan arah kiblat wajib menjadi studi pengetahuan yang penting bagi masyarakat. Terutama untuk para ahli falak.

Penentuan arah kiblat baik dalam segi teori dan praktiknya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Dari metode tradisional, hingga kontemporer. Di samping itu, juga menjadi disimilaritaskonkret dalam sosio-historis umat Islam yang menyebabkan deviasi dalam perdebatan sains.

Tidak sedikit dari kita yang masih menganggap persoalan kiblat adalah persolan keyakinan masing-masing, tanpa melakukan ijtihad dalam mencari kebenarannya. Akulturasi antara agama dan tradisi sudah sepatutnya dapat kita kaji dengan bijak.

Sangat penting memilah dari tinjauan efektivitasnya dalam persoalan ibadah. Terkhusus dalam persoalan arah kiblat agar tercapai kemaslahatan umat dengan keabasahannya secara hukum Islam dan sains. Oleh karenanya, mengapa Allah Swt mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia.

Cari Petunjuk

Ada dua sudut pandang Al-Qur’an sebagai petunjuk, yaitu “Hudan lil muttaqin” (petunjuk bagi orang yang bertakwa) dan “Hudan linnas” (petunjuk bagi umat manusia). Imam An-Nawawi juga menambahkan “Hudan Lil Ummatin” (petunjuk bagi umat yang mengimani Nabi Muhammad saw). Artinya, tatkala manusia mengalami kebimbangan dalam beribadah, sudah sepatutnya mencari petunjuk susuai dengan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, hadis, dan sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Kita dianugerahi akliah (akal-pikiran) oleh Allah Swt, bukan semata-mata   untuk menerima segala sesuatunya tanpa mempertingkan adanya kebenaran dan kewajiban di dalamnya. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt menyebut makhluk dengan tiga istilah: “basar”, “naas”, dan “insan”. Kata “basar” (basyar) dalam ilmu matik Islam disebut dengan hayawanun natiq, yakni hewan yang berbicara.

“Basar” adalah karakter paling dasar dari sifat manusia yang fitrahnya dapat merasakan lapar, haus, marah, dengki, rakus, dan nafsu. Dari makna ini, lebih mengedepankan sifat emosional daripada spiritual dan intelektual.

Tingkatan kedua adalah “naas”, tatkala “basar” dapat memberdayakan intelektual/berpikir guna membangun peradaban, ilmu pengetahuan, berkarya, dan bersosialisasi guna bermanfaat bagi sesama demi menanamkan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Tingkatan akhir adalah “insan”, yang juga terkandung dalam QS Al-Insan: 76.

“Insan” dikhususkan kepada makhluk yang telah melewati fase “basar” dan “naas”. Ia dapat menyeimbangkan diri dari sifat emosional dan intelektual dengan adanya kemampuan spiritual. “Insan” adalah makhluk yang mencapai pencerahan jiwa, spiritual, dan kesadaran. Itulah menagapa disebut “insan kamil” (manusia pencerah).

Banyak Melenceng

Problematika pergeseran arah kiblat menjadi sebuah pembahasan khusus yang wajib diketahui oleh para sarjanawan falak atau para ahli falak dalam menentukan arah kiblat yang benar. Tentu dengan ketentuan batas toleransi kemelencengan arah kiblat, menggunakan analisis pendekatan dan pandangan yang berbeda-beda. Rumusan batas toleransi kemelencengan terhadap arah kiblat wajib menjadi studi pengetahuan yang penting bagi masyarakat secara umum maupun para ahli falak secara khusus.

Sayang, hingga saat ini belum ada pedoman atau standar baku dalam pengukuran arah kiblat yang disepakati sebagai standar toleransi kemelencengan untuk wilayah teritorial Indonesia, dan khususnya di Sulsel.

Menurut Ahmad Izuddin ada tiga pokok utama tentang akurasi menghadap kiblat yang sebenarnya sesuai dengan perintah Allah Swt adalah secara akurat dapat mengahadap ke Ka’bah yang berada di Masjidilharam. Kemudian diperluas lagi ke wilayah Masjidilharam berada, yaitu Kota Makkah yang menjadi kiblat bagi seluruh umat muslim di muka bumi ini.

Dari representasi awal kemelencengan arah kiblat di Sulsel saat ini, telah ditemukan di beberapa kabupaten/kota. Masih terdapat kemelencengan arah kiblat masjid, seperti Kota Makassar terdapat 11 masjid, Gowa 17 masjid, dan Jeneponto lima masjid. Kemelencengan arah di masjid-masjid itu berkisar dari 1° hingga 26°. Hal itu berbanding dengan nilai arah kiblat sejati untuk Sulsel.

Dari data observasi awal penulis, diketahui arah kiblat dari 24 kabupaten yang berada di Sulsel untuk menghadap ke Ka’bah, Masjidilharam, dan Kota Makkah adalah 292° dan 291° untuk Luwu dan Luwu Timur.

Batas Toleransi

Jadi dapat disimpulkan, untuk arah kibat kabupaten/kota yang ada di Sualsel, baik itu menghadap bangunan Ka’bah, menghadap Masjidilharam, dan Kota Makkah, maka selisih derajat toleransi arah kiblat adalah tidak lebih dari 0o42’46.43” atau 292° sebagai ihtiyat atau tanda kehati-hatian, sesuai dengan repsentasi data dan perhitungan secara astronomis.

Apabila hasil pengukuran arah kiblat terjadi kemelencengan di atas 22o 30’, karena jika terjadi kemelencengan yang mencapai di atas 22o30’ arah kiblat untuk wilayah Indonesia akan cenderung condong ke arah selatan dari titik barat. Arah kibat untuk wilayah Indonesia adalah Barat Laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak daerah masing-masing.

Gerakan validasi dan kalibrasi arah kiblat masjid Sulsel adalah tugas kita bersama, baik itu secara individu, para ahli, maupun pemerintah yang berwenang, khususnya Kementerian Agama (Kemenag) yang berada di setiap kabupaten/kota. Sebagai umat Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw, kita memiliki tanggung jawab moral dan kesadaran tentang betapa pentingnya arah kiblat.

Beribadah bukan hanya menyoal tentang pahala, akan tetapi bagaimana ikhtiar dan ijtihad muslimin dalam mencapai kesempurnaan ibadah, seperti mengahadap kiblat ketika salat, agar sesuai rukun dan syarat sah. Nun, wa al-Qalam, wa Ma Yasthurun, Wa an-najm Idwa Hawa. (*)

*Penulis adalah Korwil Sulsel Etnoastronomi Indonesia Islamic Astronomy Club (IIAC)

News Feed