English English Indonesian Indonesian
oleh

Plus Minus Sarjana Tanpa Skripsi

Mustari Mustafa

Pengajar Filsafat di S1, S2, dan S3 UIN Alauddin Makassar

Pada tanggal 20 Agustus 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Peraturan ini menghapus kewajiban skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa program sarjana.

Keputusan ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa, dosen, dan masyarakat luas. Ada yang mendukung keputusan ini karena dinilai dapat memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Namun, ada pula yang menentang keputusan ini karena dinilai dapat menurunkan kualitas lulusan perguruan tinggi. Namun sebagai catatan pinggir bahwa, masing-masing kampus mempunyai kebebasan memilih untuk menerapkan kebijakan ini atau tidak.

Beberapa catatan mengenai kelebihan mahasiswa tanpa skripsi : pertama lebih fleksibel dalam memilih metode pembelajaran. Mahasiswa tanpa skripsi memiliki keleluasaan untuk memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Mereka dapat memilih untuk mengambil mata kuliah pilihan, mengikuti kegiatan penelitian, atau magang di industri. Hal ini dapat membantu mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka sesuai dengan minat dan bakat mereka. Kedua lebih hemat waktu dan biaya. Proses penulisan skripsi dapat memakan waktu yang lama, yaitu sekitar 3-6 bulan bahkan lebih. Proses ini juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti biaya penelitian, biaya bimbingan, dan biaya cetak. Mahasiswa tanpa skripsi dapat menghemat waktu dan biaya tersebut untuk fokus pada kegiatan pembelajaran dan pengembangan diri lainnya. Ketiga lebih siap memasuki dunia kerja. Mahasiswa tanpa skripsi memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pengalaman kerja nyata sebelum lulus. Mereka dapat mengikuti kegiatan magang di industri untuk menerapkan ilmu yang mereka pelajari di perkuliahan. Hal ini dapat membantu mahasiswa untuk menjadi lebih siap memasuki dunia kerja.

Di lain sisi, kekurangan mahasiswa tanpa Skripsi dapat disebutkan sebagai berikut. Pertama, kualitas lulusan perguruan tinggi dapat menurun. Skripsi merupakan salah satu syarat kelulusan mahasiswa yang bertujuan untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan menulis secara ilmiah. Dengan menghapus kewajiban skripsi, ada potensi kualitas lulusan perguruan tinggi dapat menurun. Kedua, mahasiswa kurang terlatih dalam penelitian. Skripsi merupakan salah satu sarana bagi mahasiswa untuk belajar melakukan penelitian. Dengan menghapus kewajiban skripsi, mahasiswa akan kurang terlatih dalam penelitian. Hal ini dapat menghambat karir mahasiswa di masa depan, terutama jika mereka ingin melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana atau bekerja di bidang penelitian. Kita menemukan mahasiswa pascasarjana yang saat jenjang S1 tanpa Skripsi sangat kaku bahkan kesulitan dalam menyusun karya ilmiah, makalah hingga Tesis maupun Disertasi. Tentu saja sulit baginya untuk menulis jurnal apalagi jurnal bereputasi dengan baik dan cerdas.  Ketiga, mahasiswa kurang dipersiapkan untuk menghadapi dunia kerja. Skripsi merupakan salah satu sarana bagi mahasiswa untuk belajar mengembangkan keterampilan soft skills, seperti kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan memecahkan masalah. Dengan menghapus kewajiban skripsi, mahasiswa akan kurang dipersiapkan untuk menghadapi dunia kerja.

Ada sejumlah pertanyaan yang tampaknya menjadi masalah antara lain : Bagaimana cara perguruan tinggi memastikan bahwa mahasiswa yang lulus tanpa skripsi memiliki kualitas yang sama dengan mahasiswa yang lulus dengan skripsi? Bagaimana cara perguruan tinggi memastikan bahwa mahasiswa yang lulus tanpa skripsi memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja? Bagaimana cara perguruan tinggi memastikan bahwa mahasiswa yang lulus tanpa skripsi memiliki keterampilan penelitian yang dibutuhkan untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana atau bekerja di bidang penelitian?

Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab oleh perguruan tinggi agar kebijakan menghapus kewajiban skripsi dapat berjalan dengan efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Bagi perguruan tinggi yang ingin menerapkan kebijakan menghapus kewajiban skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa program sarjana perlu memperhatikan hal-hal antara lain. Perlu mengembangkan sistem yang dapat mengukur kualitas lulusan mahasiswa yang lulus tanpa skripsi. Perguruan tinggi perlu memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memasuki dunia kerja, baik melalui kegiatan magang, kerja praktik, atau kegiatan lainnya. Perguruan tinggi perlu memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan penelitian, baik melalui kegiatan penelitian, pelatihan, atau kegiatan lainnya.

Dengan memperhatikan beberapa hal seperti ini, perguruan tinggi dapat memastikan bahwa kebijakan menghapus kewajiban skripsi dapat berjalan dengan efektif dan tidak menimbulkan dampak negatif yang berat. Jangan sampai kebijakan ini dikesankan untuk mempermudah proses belajar di perguruan tinggi yang kemudian menciptakan problem sosial baru. Pada akhirnya, keputusan untuk mendukung atau menentang kebijakan ini merupakan hak masing-masing individu dan perguruan tinggi diberikan otonomi dalam menerapkannya. Namun, penting untuk mempertimbangkan secara matang kelebihan dan kekurangan kebijakan ini sebelum mengambil keputusan. (*)

News Feed