English English Indonesian Indonesian
oleh

Mungkinkah Suara Milenial, Gen-Z Jadi “Hidden Gem”

OLEH: Andi Muhfi Zandi M,
Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unv. Tomakaka

Di tengah maraknya pencarian kata kunci di media sosial hari ini, ternyata terdapat satu frasa keyword yang sering dimasukkan di kolom pencarian medsos seperti Instagram dan TikTok utamanya bagi milenial ataupun Gen Z yang membutuhkan preferensi pilihan tempat nongkrong ataupun makan.

Frasa itu adalah hidden gem atau permata yang tersembunyi dalam Bahasa Indonesia. Dalam berbagai kamus, frasa ini kerap didefinisikan sebagai suatu keindahan yang tersembunyi. Meski biasanya frasa ini kerap digunakan untuk restoran, rumah makan, atau tempat wisata yang tersembunyi, frasa โ€œhidden gemโ€ ini juga digunakan untuk beberapa objek bernilai lainnya yang mendapatkan pengakuan mulai dari buku, gim, film, podcast, dan lain sebagainya. Apabila dianalogikan, dalam konteks kontestasi elektoral seperti halnya pemilu, frasa ini dapat menjadi gambaran dari sesuatu yang dianggap memiliki potensi, namun terhalang dikarenakan mindset dari kultur masyarakat setempat. Melihat fenomena tersebut, nyatanya partai politik mulai melirik hal tersebut dengan memasang beberapa caleg muda yang diharapkan dapat mendulang suara dari Gen Milenial dan Gen-Z.

Tantangan preferensi generasi

Ambiguitas preferensi politik kaum milenial dan gen z belakangan ini seakan menjadi momok. Semua orang telah memahami kelompok tersebut akan menjadi kelompok pemilih terbesar di Pemilu 2024, namun sulit untuk dapat meyakinkan satu sama lain bahwa kelompok yang berjumlah 68,8 juta orang itu nantinya akan benar-benar mencoblos. Berdasarkan Laporan The Millennial Dialogue Report, dari Broadbent Institute memberi kejelasan bahwa meskipun jumlah kaum muda yang pesimis terhadap politik memang semakin banyak, politik bukan menjadi alasan utamanya. Kebencian tersebut muncul dari satu alasan, yakni ketidakpercayaan pada para politisi.

Problematikanya adalah di era modern, fenomena itu sepertinya menjadi masalah yang lebih besar karena teramplifikasi oleh adanya perkembangan teknologi yang membuat akses informasi tentang perilaku para pejabat saat ini sangat mudah disebarkan ke masyarakat.

Lloyd Pettiford dan kawan-kawan dalam buku An Introduction to International Relations Theory, menyebut fenomena ini sebagai bagian dari bentuk masyarakat post-modernism atau pascamodernisme, yakni sebuah masyarakat di mana informasi dan ilmu pengetahuan sudah tidak lagi menjadi hal yang eksklusif. Kehadiran media sosial membawa babak baru. Dengan modal gawai, internet, dan akun media sosial, setiap pihak dapat mengakses dan membagikan informasi. Dan yang terpenting, kebebasan bersuara khas demokrasi modern benar-benar terfasilitasi. Hal terpenting dari hal tersebut, saat ini, dengan adanya internet dan peran media, masyarakat semakin sadar bahwa ternyata banyak masalah yang dihadapi oleh para pejabat.

Hal ini tentu berdampak pada pembentukan opini publik. Di sisi lain, sebagai pengguna media sosial dan internet terbanyak, kelompok milenial dan gen z adalah orang-orang yang paling terpengaruh oleh pembentukkan opini tersebut. Mungkin, karena hal ini pula, saat ini banyak kaum muda yang lebih tertarik melibatkan diri dalam gerakan-gerakan advokasi tentang suatu isu politik, karena dengan demikian mereka bisa memberi dampak pada sistem politik tanpa terjun dalam sistem politik itu sendiri. Pada akhirnya, dengan mengetahui ini kita turut menyadari bahwa politik dan kaum muda sesungguhnya menyimpan masalah tersembunyi yang mungkin belum bisa dipecahkan oleh mayoritas politisi yang bertanding pada 2024 nanti.

Pelan-pelan, Pak Calegโ€

Burhanuddin Muhtadi dalam penelitiannya yang berjudul Peta Politik dan Strategi Pemenangan Pemilu 2024 di Kalangan Muda, menyebutkan bahwa problem besar para parpol agar bisa merebut perhatian politik para anak muda adalah mereka perlu menawarkan program-program yang menarik untuk golongan tersebut.

Hal ini seharusnya menjadi refleksi dari para calon legislatif, alih-alih sibuk membuat konten di media sosial yang sebenarnya tidak mampu untuk menjawab keresahan sosial-politik milenial dan gen z, para politisi seharusnya merumuskan program-program yang bisa menjawab persoalan kaum muda saat ini, seperti kepastian lahan pekerjaan di masa depan, keamanan keuangan, dan masalah kebutuhan hidup yang setiap harinya semakin mahal. Bisa jadi sebenarnya para politisi menyadari hal ini, tapi karena keperluan efisiensi waktu dan tenaga, mereka akhirnya lebih memilih hanya sekadar menjadi populer ketimbang benar-benar menggiring opini publik para anak muda yang apatis terhadap politik.

Apabila kondisi tersebut terus dibiarkan dan tidak disertai dengan inisiatif oleh para politisi untuk merangkul aspirasi dari generasi muda, bukan hal yang mustahil pada Pemilu 2024 nanti mayoritas para milenial dan gen z akhirnya hanya akan menjadi golongan putih (golput). (*/)

News Feed