English English Indonesian Indonesian
oleh

Budaya Akademik dan Senjakala Intelektualisme Kampus

Oleh: Andi Faisal, Penggiat Kajian-kajian Budaya

Dunia perguruan tinggi saat ini tengah sibuk dan berlomba-lomba mengejar target dan pencapaian-pencapaian. Setiap sivitas akademik diminta secara aktif berpartisipasi di dalamnya. Tak terkecuali para intelektual kampus (mahasiswa dan akademisi) diharapkan menjadi bagian aktif dari narasi besar tersebut (grandnarratives). Dunia kampus sebagai tempat ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dimatangkan, tentunya sangat diharapkan oleh publik, baik oleh publik kampus maupun luar kampus, untuk memberikan pandangan, tanggapan, atau solusi atas persoalan yang sedang dihadapi publik. Namun dalam beberapa tahun terakhir, alih-alih “terlibat” menyemai budaya akademik, para sivitas akademik lebih memilih untuk berdiam diri dan “masa bodoh” dan/atau lebih sibuk mengumpulkan berbagai capaian kuantitatif dengan logika akumulasi sebagai daya dorongnya. 

Tulisan ini merupakan refleksi dan kegelisahan atas kondisi ontologis dunia kampus yang (sepertinya) telah kehilangan gairah dan daya budaya akademik dan intelektualismenya, akibat serangan praktik-praktik  “philistinisme” dan “instrumentalisme” yang menerpa hingga ke relung-relung sanubari para sivitas akademik. 

Frank Furedi dalam Where Have All the Intellectuals Gone (2004) menyatakan bahwa dunia kehidupan kampus saat ini telah mengalami rutinisasi akademik. Aktivitas akademik kampus telah menjadi aktivitas yang rutin dan banal. Berkembangnya praktik budaya “philistinisme”, menjadi salah satu penyebabnya. Philistinisme merupakan praktik atau budaya yang merayakan etos manajerialisme dan pemujaaan pada praktik-praktik materialisme. Praktik-praktik ‘philistinisme’ demikian oleh Furedi disebut juga sebagai perayaan pada kedangkalan (banalization). Selain itu, praktik instrumentalisme juga menjadi faktor terjadinya degradasi budaya akademik. Instrumentalisme memandang praktik seni, budaya, dan pendidikan sebagai instrumen-instrumen (semata) yang dapat melayani kepentingan dan tujuan-tujuan praktis. 

Budaya Akademik dan Kebebasan Akademik

Istilah akademik atau akademia, tentu saja tidak lepas dari nama seorang Plato, seorang filsuf-pemikir Yunani Kuno. Melalui dialog-dialog filosofis dan kritis bersama murid-muridnya, Plato mendirikan “akademi” sebagai tempat publik (sekolah) Plato dan murid-muridnya saling berinteraksi dan berdialektika, dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang ada, sekaligus memecahkan masalah-masalah yang tengah dihadapi untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bersama (eudaimonia). Dari akademi Plato tersebut, lahirlah dunia perguruan tinggi sebagaimana yang dipahami saat ini. Praktik interaktif dan dialektis tersebut kemudian membentuk budaya akademik (academic culture), dan dari situ pula melahirkan praktik kebebasan akademik (academic freedom) dalam kampus. Budaya akademik adalah praktik-praktik (ilmiah) yang mengedepankan relasi-relasi yang interaktif-intersubjektif, dialektis, kritis, dan tentu saja rasional dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal kampus. Sementara kebebasan akademik merupakan hal yang terberi (given) secara alamiah sebagai warga kampus. Yang artinya setiap sivitas akademik memiliki hak alamiah untuk menyuarakan dan menyampaikan gagasannya secara bebas (free) tanpa adanya rasa takut akan tekanan, ancaman, dan paksaan. Budaya dan kebebasan akademik saling beririsan. Budaya akademik yang “sehat” mengandaikan adanya jaminan kebebasan akademik, demikian pula sebaliknya terjaminnya kebebasan akademik akan melahirkan kondisi dan praktik (budaya) akademik yang baik pula. Budaya dan kebebasan akademik yang “sehat” pada akhirnya akan membawa sivitas akademik pada kebaikan tertinggi (highest good). 

Intelektual dan (Praktik) Intelektualisme Dunia Kampus 

Sebenarnya kaum intelektual tidak semata-mata berada dan ditemukan di dunia kampus, namun juga tersebar di seluruh lapisan masyarakat. Siapa sebenarnya intelektual itu? Apakah seorang intelektual ditandai dengan tingginya jabatan yang diembannya? Atau banyaknya buku atau artikel yang ditulisnya? Ataukah seseorang yang telah menempuh pendidikan pascasarjana? Jawabannya  bisa jadi, dan bisa juga tidak!. Bagi Edward Said, seorang intelektual tidak dicirikan oleh tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki atau gelar yang disandangnya, atau karya yang dihasilkan, namun oleh sensivitas dan kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat (publik). Pandangan Said tersebut dijelaskan dalam salah satu karyanya  yakni Representations of The Intellectual (1996). Menurut Said, karakter seorang intelektual ditandai dengan kapasitasnya dalam mengartikulasikan secara berani sebuah pesan, sikap, dan pandangan terhadap persoalan publik, yang menginterogasi ortodoksi dan dogma, dan tak terkooptasi oleh kekuasaan ataupun korporasi. Karakter intelektual demikian adalah mereka yang secara tegas dan berani menyela kepada kekuasaan dan menyatakan kebenaran dengan segala konsekuensinya (speaking truth to power). Berani menyatakan kebenaran adalah karakter utama seorang intelektual (publik).  

Dalam Fearless Speech (2001), Michel Foucault memperkenalkan istilah parrhesia untuk menyatakan kebenaran atau berbicara terus terang (franc parler) atas sesuatu. Kata parrhesia mengandung dua pengandaian yakni: keyakinan (belief) dan kebenaran (truth). Istilah ini merujuk pada aktivitas lisan/tulisan seseorang dalam menyampaikan sesuatu atas keyakinannya (belief) terhadap suatu kebenaran (truth), dan kesediaannya mengambil segala resiko karena telah mengungkapkan kebenaran, dan pernyataan kebenaran itu sebagai wujud kewajiban dan tanggungjawabnya dalam membantu tatanan masyarakat (sosial). Dengan kata lain, parrhesia merupakan keberanian untuk mengambil resiko apapun dalam mengungkapkan kebenaran, termasuk keberanian mengungkapkan apa yang tengah terjadi di dalam dunia kampus.

Dunia kampus sering pula disebut sebagai masyarakat akademik (academic society) yang dipandang mampu menggunakan kapasitas intelektualnya untuk mengurai dan menganalisis suatu permasalahan secara runtut, sistematis, terpadu, dan rasional dalam rangka untuk memberi solusi atau perspektif atas suatu permasalahan. Hal itu pula sehingga masyarakat kampus sering juga dilabeli sebagai (masyarakat ) kelompok intelek atau kaum intelektual.  Namun sayangnya, tidak semua kaum intelektual kampus “menggunakan” kapasitas intelektualnya untuk menjadi intelektual (organik), yang terlibat langsung maupun tidak langsung, melakukan kritik, memberikan pandangan kritis dan alternatif, menyatakan kebenaran terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi publik seperti ketimpangan sosial, ketidakadilan, pembodohan, pemiskinan, dan seterusnya. Dalam pandangan Edward Said, masyarakat kampus pada dasarnya juga adalah bagian dari publik yakni publik kampus, sehingga sangat perlu dan urgen mendapat sorotan. Bagi said, Praktik birokrasi, kebijakan, pelayanan, kesejahteraan, dan seterusnya, juga tak sepenuhnya lepas dari relasi-relasi kekuasaan, sehingga dibutuhkan sikap kritis kaum intelektual kampus untuk terus mempertanyakan dan mempersoalkan praktik-praktik penyelenggaraan kekuasaan, apakah telah sejalan dengan “hal yang seharusnya benar” dalam penerapannya. Dengan kesadaran kritis para inteletual kampus, diharapkan praktik-praktik penyelengaraan kekuasaan akan senantiasa terkoreksi berada pada jalur yang seharusnya (on the track).

Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik

Dalam Selections from Prison Notebooks (2000), Antonio Gramsci membagi 2 tipe intelektual. Pertama, intelektual tradisional seperti guru, administrator, birokrat, pegawai, dan sebagainya yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi.  Intelektual tradisional adalah biasanya mereka yang digaji dan bekerja secara profesional pada instansi-instansi pemerintah dan swasta. Kehadiran mereka menjadi bagian dari siklus dan rutinitas keberlangsungan kekuasaan. Mereka secara profesional mengabdikan diri untuk kelanggengan instansi-instansi pemerintahan dan kekuasaan. Kedua, intelektual organik. Mereka adalah para intelektual yang terkait dengan kelas sosial atau kelompok tertentu yang memanfaatkan kapasitas intelektualnya untuk mengorganisir, mengubah cara berpikir, dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat (publik). Para intelektual demikian terus bergerak menstimulasi hadirnya transformasi atau gerakan perubahan sosial.  Mereka bisa menjadi siapa saja: para LSM, dosen, seniman, budayawan, mahasiswa dan seterusnya. 

“Setiap orang adalah intelektual, namun tidak semua orang dalam masyarakat menjalankan fungsi-fungsi intelektual” demikian penerangan Gramsci. Pandangan Gramsci tersebut menyiratkan bahwa tidak semua orang dapat menyandang atau menjalankan peran dan fungsi-fungsi intelektualisme, hanya mereka yang secara aktif berjuang, menceburkan diri dan pikirannya dalam persoalan-persoalan publik. Berbeda dengan intelektual tradisional yang selalu merasa “nyaman” dengan kondisinya dan melakukan hal-hal yang rutin setiap waktu. Ciri intelektual organik yang dijelaskan Gramsci tersebut, tentu mengandaikan sejumlah sifat atau karakter yang sejatinya dimiliki seorang intelektual. Sifat kritis adalah salah satunya. Wujud karakter kritis tersebut adalah senantiasa menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan yang ingin mengkooptasi dirinya dengan hal tertentu, termasuk dengan bujukan posisi jabatan tertentu. Kritisisme intelektual dibutuhkan untuk senantiasa mempertanyakan dan menginterogasi jalannya praktik dominatif dan penyelenggaraan kekuasaan. 

Krisis Budaya Akademik dan Senjakala Intelektualisme Kampus 

Dunia perguruan tinggi atau dunia kampus adalah dunia manusia, yakni manusia sebagai subjek (pelaku), sehingga relasi-relasi produktif yang diharapkan terbangun adalah relasi antarmanusia (intersubjektif). Relasi intersubjektif mengandaikan manusia sebagai subjek yang berinteraksi secara rasional. Interaksi rasional yang dimaksud adalah terbukanya ruang-ruang diskursif yang luas, setara, mandiri, jujur, dan bermartabat yang memperlakukan manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang menjadi objek dan core bisnis adalah ilmu pengetahuan. Dengan interaksi komunikatif-intersubjektif yang demikian, maka budaya kritisisme akan tumbuh dan dialektika keilmuan akan terus berkembang sehingga hasil yang dicapai telah melalui proses rasionalisasi yang matang menuju kualitas-kualitas insani yang handal, baik secara individual maupun sosial. 

Salah satu hal yang tak bisa dipungkiri terjadi di dunia kampus saat ini adalah memudarnya interaksi yang bercorak keilmuan di kalangan sivitas akademik seperti diskusi, seminar, dialog keilmuan, bedah buku, dan semacamnya.  Kalau pun ada, maka intensitas atau frekuensinya terbilang minim atau hanya dibuat dalam rangka pencapaian pemeringkatan atau perlombaan, bukan menjadi sebuah “budaya” (baca: membudaya), habitus atau pengkondisian (conditioning) kebiasaan internal yang berlangsung secara rutin dan regular pada berbagai level dan tingkatan: dari tingkat prodi, departemen, fakultas hingga universitas. Interaksi keilmuan (tampaknya) menjadi barang mewah atau langka. Forum-forum dosen atau mahasiswa atau grup-grup whats app lebih banyak membicarakan “gosip” jabatan, rutinitas kenaikan pangkat, beban administrasi, honor, borang akreditasi, atau tugas-tugas lainnya, yang seringkali tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkembangan dan interaksi keilmuan, misalnya perkembangan teori-teori mutakhir, dialektika keilmuan, mashab pemikiran (ilmu) tertentu. Krisis budaya akademik tersebut kemudian berdampak- salah satunya- pada out-of-date produksi karya ilmiah yang dihasilkan, yang hanya mengulang atau sekadar mereproduksi apa-apa yang sudah yang dibicarakan atau ditulis puluhan tahun lalu. Hal ini salah satunya bisa diverifikasi pada karya tulis akhir mahasiswa misalnya pada skripsi, tesis, atau bahkan disertasi. Salah satu penyebab “krisis” tersebut adalah karena ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi core bisnis dan objek utama (objektif) atau tujuan akhir (ends) praktik pengelolaan pendidikan dunia kampus, melainkan hanya menjadi “sarana/alat” (means) untuk kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis semata. Dengan tereduksinya budaya akademik pada hal-hal yang sifatnya “formal dan instrumental” semata, maka kebaikan tertinggi (highest good) tentu akan sulit terwujudkan, dan dapat dipastikan, senjakala (praktik) intelektualisme akan semakin berlangsung.

News Feed