English English Indonesian Indonesian
oleh

Masih Adakah Praktik (ber)Nalar di Dunia Perguruan Tinggi?

OLEH: Andi Faisal, Penggiat Kajian-kajian Budaya

Dunia Perguruan tinggi adalah salah satu tempat akal budi atau nalar (reason) civitas akademik dibentuk, dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat manusia. Nalar (reason) sebagai potensi terbesar yang dikelola di dunia kampus, diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam memaksimalkan potensi manusia untuk mencapai tindakan dan kebaikan tertinggi (summun bonum), baik bagi individu itu sendiri maupun bagi alam semesta. Persoalan bernalar di Perguruan tinggi menjadi hal yang sangat menarik sekaligus krusial untuk diperbincangkan (diskursus), terutama ketika perguruan tinggi mulai memasuki era kebebasan (freedom) dan pasar bebas (free market).

Nalar subjektif dan nalar objektif

Dalam diskursus filsafat, setidak-tidaknya terdapat dua praktik bernalar dalam diri individu yakni nalar subjektif (subjective reason) dan nalar objektif (objective reason). Dalam Eclipse of Reason (2004), Max Horkheimer menjelaskan secara filosofis kedua praktik bernalar ini. Nalar subjektif adalah nalar yang diarahkan sesuai dengan kepentingan dan tujuan Sang subjek. Bagi individu yang didominasi oleh nalar subjektif, apa yang masuk akal (reasonable) adalah sesuatu itu bermanfaat bagi dirinya ataupun kelompoknya. Tipe nalar ini lebih menekankan pada aspek cara/sarana (means) daripada tujuan (ends) yang ingin dicapai.

Dalam pandangan nalar subjektif, individu dimanfaatkan untuk objek atau konsep yang lain, bukan untuk kepentingan objek atau konsep itu sendiri. Dengan kata lain, objek atau konsep itu baik untuk sesuatu yang lain (good for something else). Karena dialamatkan pada hal-hal di luar dirinya, maka nalar subjektif dapat “diperalat” untuk kepentingan (subjek) tertentu. Dengan demikian, nalar ini cenderung diperlakukan  sebagai “alat” semata yang dapat diukur dan diperhitungkan, serta diterapkan secara teknis atau mekanistis, dalam rangka mencapai kepentingan subjek. Nalar subjektif memiliki kemampuan untuk memprediksi dan mengkalkulasikan berbagai kemungkinan- termasuk kalkulasi untung rugi- dan selanjutnya menentukan sarana yang tepat demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam diskursus filsafat, nalar subjektif ini sering pula disebut sebagai nalar instrumental (instrumental reason).

Sementara pada nalar objektif, nalar difokuskan pada tujuan (ends), untuk kepentingan dan tujuan nalar itu sendiri. Bagi nalar objektif, seluruh tindakan bernalar diarahkan untuk kepentingan dan kebaikan nalar itu sendiri (good for itself). Selain bersemayam dalam diri individu, nalar objektif juga berada di luar dirinya, di dunia objektif di luar individu. Nalar objektif mencoba membangun sistem atau konsep-konsep objektif dan komprehensif dari semua yang ada, termasuk konsep tentang manusia dan tujuan-tujuan hidupnya, termasuk pula tentang kebaikan tertinggi dan perwujudan tujuan-tujuan mulia manusia.

Dalam perjalanan sejarahnya, nalar objektif mulai mulai diingkari dan dikosongkan dari isi objektifnya dan semata-mata menjadi formal. Nalar objektif dianggap tidak lagi sejalan dengan perkembangan manusia yang menghendaki kepastian dan kalkulasi dalam hidupnya. Tugas nalar dianggap bukan mengandaikan dan berspekulasi sebagaimana ciri filsafat, melainkan menghitung, mengklasifikasi, dan memverifikasi. Karena telah dikeluarkan isi objektifnya, maka tersisa hanya kulit luarnya saja, dan sekadar menjadi formalitas belaka.

Formalisasi nalar membuatnya menjadi netral, dan terbuka untuk dipergunakan sebagai sarana apa saja (instrumentalisasi nalar). Ketika diperlakukan sebagai alat, nalar kemudian diukur berdasarkan prosedur-prosedur luar yang bersifat formal-administratif, yang tidak lagi mempersoalkan isi nalar, melainkan cukup terpenuhinya syarat-syarat formal-administratif sebagai ukuran validitasnya. Jika telah memenuhi standar formal, maka dianggap menjadi valid dan masuk akal (reasonable). Pertimbangan isi, etis, dan moral dikesampingkan. Pencapaian-pencapaian dan keberhasilan dominan dinilai berdasarkan kuantitas yang diperoleh. Kalkulasi dan kuantitas menjadi spirit penggerak nalar instrumental.

Di era modern, ketika dunia pendidikan tinggi semakin mengalami praktik-praktik komodifikasi yang sedemikian jauh, mampukah dunia perguruan tinggi merefleksikan dan mempertanyakan secara kritis kondisi-kondisi internal dan eksternal yang menerpa dirinya?

Dari nalar instrumental ke nalar komunikatif

Dalam instrumental, relasi-relasi produksi yang terbangun adalah relasi subjek-objek. Individu terobjektivasi oleh sistem yang ada. Sistem rasionalitas modern telah memperlakukan seluruh aktivitas individu dan dunia pendidikan sebagai objek instrumental yang terukur dan terhitung. Sejatinya dunia perguruan tinggi adalah dunia manusia, sehingga relasi-relasi produktif yang diharapkan terbangun adalah relasi antarmanusia (intersubjektif).

Relasi intersubjektif mengandaikan manusia sebagai subjek yang berinteraksi secara rasional. Interaksi rasional yang dimaksud adalah terbukanya ruang-ruang diskursif yang luas, setara, mandiri, jujur, dan bermartabat yang memperlakukan manusia sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang menjadi objek dan core bisnis adalah ilmu pengetahuan. Dengan interaksi komunikatif-intersubjektif yang demikian, maka budaya kritisisme akan tumbuh dan dialektika keilmuan akan terus berkembang sehingga hasil yang dicapai telah melalui proses rasionalisasi yang matang menuju kualitas-kualitas insani yang handal, baik secara individual maupun sosial. (*)

News Feed