English English Indonesian Indonesian
oleh

Sompeq: Representasi Budaya Maritim pada Masyarakat Sulawesi Selatan

OLEH : Nurhayati Rahman, Guru Besar Unhas

Bila kita memetakan topografi masyarakat Sulawesi Selatan berdasakan lingkungannya, maka dapat dibagi ke dalam dua bagian,  yaitu masyarakat yang bermukim di dataran rendah dan pegunungan, pada umumnya menggantungkan  hidup pada sektor pertanian dan peternakan, dan  masyarakat pesisir (To Pabbiring) yang pada umumnya hidup berdasarkan hasil-hasil laut. 

Meskipun demikian mata pencaharian tersebut tidaklah statis, yang tidak dapat  berubah. Profesi itu dapat berubah dan bertukar karena pengaruh sistem sosial dan budayanya. 

Masyarakat Sulsel mempunyai budaya yang dinamis,  yaitu  siriq napesse, meski dengan istilah dan bahasa yang berbeda antara suku yang satu dengan suku yang lain tapi ekspresinya tidak jauh berbeda. Siriq adalah budaya yang memberi tempat pada penghargaan yang tinggi terhadap martabat, rasa malu, dan harga diri, sedangkan pesse adalah rasa solidaritas yang tinggi atas dasar kemanusiaan yang timbul secara spontan. 

Mereka senantiasa  menjaga dan mengawal perilakunya agar martabatnya dapat tegak, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok masyarakat. Apabila merasa miskin, bodoh, tidak berharga atau tidak  dihargai oleh masyarakat maka mereka memilih untuk pergi merantau. Perantauan itu disebutnya sompeq dengan prinsip berhijrah di tempat lain agar mereka bisa mengubah hidupnya dan bermakna dalam masyarakat sehingga siriq-nya tegak, dengan demikian  mereka tidak diremehkan dan direndahkan oleh masyarakatnya. 

Sompeq terdiri dari dua macam, yaitu sompeq musiman dan sompeq untuk menetap di satu tempat. Sompeq musiman, terdiri dari dua macam, yakni sompeq untuk mencari penghidupan di laut, dengan mencari hasil-hasil laut yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi seperti teripang, mutiara, yang selanjutnya mereka jual dari pulau ke pulau. Ada pula yang bekerja sebagai pengusaha pengangkutan perahu yang pemiliknya disebut punggawa  dan para awaknya disebut sawi.  

Passompeq (perantau) seperti ini biasanya mereka berlayar berbulan-bulan.  Apabila telah memperoleh hasil yang memadai, maka mereka akan pulang ke kampung halamannya untuk  mempersembahkan penghasilannya kepada keluarganya. 

Bentuk sompeq yang kedua disebut mallekkeq dapureng yang secara harpiah berarti memindahkan dapur, tapi yang dimaksudkannya adalah pindah dan menetap di suatu tempat yang mereka anggap bisa mendapatkan rezeki melebihi dari apa yang diperoleh di tempat asalnya. 

Di tempat rantaunya mereka bekerja keras untuk mengubah nasibnya agar hidupnya bermakna di masyarakatnya dengan demikian siriq-nya tegak. Ini yang melahirkan etos kerja yang tinggi, prinsip mereka malu pulang ke kampung halamanya apabila  belum berhasil.  Ini pula yang menyebabkan sebagian di antara mereka yang tinggal selamanya di rantau karena mereka belum yakin bisa menegakkan siriq-nya apabila kembali ke kampungnya, meski untuk jalan-jalan  silaturahmi sekalipun.

Ketika mereka berada di tanah rantau hampir semua sektor ekonomi berusaha untuk dikuasainya  terutama di sektor  infrastruktur pelayaran dan perdagangan, perahu, pelabuhan, dermaga, perdagangan antar pulau, dan ekspedisi. 

Mereka juga berniaga dengan menguasai pasar melalui sistem bisnis yang berkoloni, dengan cara mendatangkan keluarganya atau sekampungnya di tempatnya merantau apabila telah berhasil. Ini merupakan  ekspresi perasaan pesse-nya terhadap sesama manusia, terutama keluarga, sekampung, bahkan kepada sesamanya manusia, mereka tidak menganggap sesamanya manusia dengan bisnis yang sama sebagai saingan, tapi sebagai mitra kerja yang harmonis.

Di samping berdagang, sebagian di antara  mereka juga membuka lahan pertanian, termasuk sektor perikanan. Saat mereka membuka lahan  dan menebang pohon di hutan belantara, mereka bekerja secara berkelompok dan membentuk lingkaran agar tidak diserang binatang buas, seperti harimau. Ketika malam hari mereka beristirahat dan tidur di perahu mereka yang ditambatkan di laut yang jauh dari jangkauan binatang buas. Ini wujud lain dari pesse mereka yang melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan (sibali-perriq) yang melahirkan perasaan solidaritas yang tinggi, musyawarah dan mufakat.

Mereka lalu menanam tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, seperti kelapa, sawit, cengkeh, coklat dan sebagainya. Itulah di kemudian hari yang terkenal di rantau sebagai  tuan tanah  yang cukup disegani.

Menurut kesaksian para pengelana Portugis pada abad ke-16 para pelaut itu membawa serta istri dan anaknya dalam berlayar, yang bagi mereka sesuatu yang sangat aneh sebagai orang Barat yang menganggap wilayah laut sebagai wilayah maskulin, yang hanya bisa digeluti laki-laki. Tapi ternyata masyarakat Sulsel wanita-wanitanya juga ikut berlayar, sehingga kita dapati sekarang ribuan hektar kelapa sawit di Johor, Malaysia pemiliknya adalah perempuan. Beberapa wanita bangsawan yang sompeq membawa serta pembantu-pembantunya, itulah yang menjadi pekerjanya di rantau dalam membuka lahan perkebunan. Di Kalimantan sampai ke Brunei yang pertama membuka perkebunan kelapa pada abad ke-17 seorang Bugis yang bernama Petta Lena. 

Karena itulah Prof. DR. Christian Pelras dari Sorbonne University, yang mengarang buku The Bugis berkesimpulan bahwa orang Bugis bukanlah pelaut tapi pedagang dan petani. Rupanya  pemahaman Pelras tentang pelaut hanyalah marine, kelautan, yang mencari hidup di laut, bukan maritim, yang mengandalkan laut sebagai infrastruktur, dengan teknologi sistem navigasi dan perahu yang diciptakan mereka untuk menjadi  jembatan yang menghubungkannya dari pulau yang satu ke pulau yang lain.

Di samping piawai dalam berdagang dan bertani, masyarakat Sulsel juga dituntut untuk menjadi pemimpin sekecil apa pun itu, paling tidak menjadi imam mesjid.  Karena itulah mereka dikenal berwatak cerdas dan pintar bernegosiasi untuk memperoleh status dan jabatan di tanah rantaunya.

Apa yang telah diuraikan di atas terlihat bahwa masyarakat Sulsel telah ditempa oleh alam, baik di laut maupun di darat.  Hal tersebut menjadikan mereka sebagai pemberani yang tak pernah mundur sejengkal pun, teguh pada pendirian, satunya kata dengan perbuatan, dan petarung untuk sebuah keyakinan dan kebenaran. 

Alam telah menempa mereka menjadi petarung sejati, seperti pesan dalam La Galigo: apabila bertemu musuh di tengah lautan, maka palingkanlah layarmu tujuh kali  ke kiri tujuh kali pula ke kanan, nanti perahumu tidak diberi jalan, baru kau menempuh kesulitan, tapi sekali engkau memilih kesulitan maka haram hukumnya untuk mundur.

Karena itu, masyarakat Sulsel diajari etika dan moral dalam menegakkan kebenaran, tidak boleh begitu tersinggung langsung menyerang, tapi diharuskan menghindar dulu, negosiasi dulu, kalau jalan itu tidak diberikan baru menempuh kesulitan. Prof. Pelras, menyebutkan bahwa apabila orang Bugis terpaksa menempuh jalan kesulitan, maka beri dia lawan yang sebanding dan seimbang, itulah konsep keadilan bagi mereka. 

Persentuhan masyarakat Sulsel dengan dunia luar melalui pelayaran, perdagangan, dan perantauannya, menyebabkan mereka terbuka menerima budaya dari luar dan mendialogkan dengan budayanya yang memunculkan budaya yg  berciri adaftif, inklusif dan kosmopolit. Mereka adalah warga dunia yang tidak mengenal batas-batas geografi di mana mereka berada. Bagi mereka tanah rantaunya yang memberinya makan dan minum adalah tanah tumpah darah keduanya yang wajib mereka bela seperti membela tanah tumpah darahnya yang pertama. 

Ketika berlayar mereka dituntut untuk jujur dan menjaga syahwatnya, karena mereka percaya alam akan menerkamnya bila mereka melanggar kedua pantangan itu. Mereka juga memiliki kemampuan yang cerdas untuk membaca alam dan pergerakannya yang bersumber dari lontaraq mereka yang berisi ilmu tentang tanda-tanda alam. 

Apa yang dikemukakan di atas ternyata akar-akar budayanya masih dapat ditelusuri pada sejarah, kebudayaan, dan peradaban masyarakat Sulsel yang paling tua Kebudayaan itu diwariskan melalui dua tradisi, yaitu pertama, melalui tradisi lisan yang tersimpan pada memory kolektif masyarakatnya. Kedua, melalui tradisi tulis, yang menyebabkan terdokumentasinya budaya mereka dengan baik dari masa ke masa. 

Huruf lontaraq, meski dianggap sebagai huruf yang ditemukan oleh orang Bugis, tapi penggunaannya tersebar di seluruh masyarakat Sulsel bahkan sampai ke Ende dan Sumbawa. Para ahli kebudayaan menyebutkan bahwa penemuan huruf dalam sejarah manusia adalah puncak pencapaian tertinggi dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Karena itulah kita menemukan berbagai pengetahuan tradisional masyarakat Sulsel tersimpan dengan baik seperti lontaraq allopi-loping (ilmu tentang pelayaran),  lontaraq abbaluq-balukeng (ilmu tentang perdagangan) lontaraq Kutika/Pitika yaitu ilmu perbintangan, lontaraq allaong rumang ilmu pertanian, lontaraq pabbura ilmu tentang pengobatan dan sebagainya.

Lontaraq adalah warisan literasi masyarakat Sulsel yang mengajarkan tentang tradisi intelektual dan menuangkan intelektualitas mereka ke dalam tulisan. Lontaraq oleh para ahli secara genetik dianggap berasal dari India yang masuk ke Sumatra, lalu diadopsi dan dilocal-geniuskan oleh orang Bugis. Lontaraq adalah oleh-oleh abadi  masyarakat Sulsel dari perantauan dan pelayarannya.

Apa yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa karakter maritim masyarakat Sulsel antara lain: Pergulatannya dengan alam baik di laut maupun di darat menyebabkan lahirnya manusia yang pemberani, satunya kata dengan perbuatan, teguh pada pendirian, jujur, bersatu atas dasar musyawarah dan petarung sejati untuk sebuah keyakinan dan kebenaran yang menjadi dasar moral dan etika mereka. Sementara itu pertemuannya dengan berbagai suku di Nusantara menyebabkan mereka memiliki budaya yang terbuka, adaptif, inklusif, dan kosmopolit. 

Makassar, 15 April 2023

News Feed