English English Indonesian Indonesian
oleh

Mendamaikan Hisab dan Rukyah

Ketika penentuan awal Ramadan lalu, semua komponen terkait kompak memulai puasa dengan hari yang sama. Namun, ketika penentuan 1 Syawal kembali terjadi friksi antara Muhamadiyah (M) dengan Non Muhamadyah (NM). Hal tersebut sebenarnya merupakan hal yang biasa karena telah berlangsung sebelum negeri ini berdiri, sehingga friksi tersebut selalu didamaikan dengan hikmah terbaik bagi semua. Sayangnya karena ada saja sejumlah pihak seperti wali kota Pekalongan dan Sukabumi yang terkesan mendiskreditkan salah satu pihak dengan mempersulit izin penggunaan lapangan untuk penyelenggaraan salat Id. Sikap dan tindakan seperti ini, tidak saja arogan dan intoleran tetapi juga mengingkari komitmen kebhinekaan dengan slogan “berbeda itu indah”.

Friksi penentuan bulan hijryah antara Muhammadiyah (M) dan Non Muhammadiyah (NM) terjadi karena perbedaan metode yang digunakan untuk memastikan posisi hilal berdasarkan hadist Nabi : “Puasalah kamu jika melihat hilal”. Berdasarkan dalil tersebut M menggunakan metode hisab menggunakan penghitungan matematika yang dilakukan dengan data astronomi dan kalender. Melalui pergerakan bulan dan matahari secara akurat, serta faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya awan dan cuaca buruk yang dapat mengganggu pengamatan manual dan langsung terhadap posisi hilal.

Sedangkan NM, menggunakan metode rukyah menentukan hilal dengan pengamatan langsung untuk menentukan awal bulan Hijriah dan 1 Syawal. Metode ini melibatkan pengamatan langsung hilal atau bulan sabit baru di langit pada malam terakhir bulan Ramadan. Jika hilal terlihat, maka 1 Syawal akan ditetapkan sebagai hari raya Idulfitri.

Berdasarkan catatan bahwa tahun 1980-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan semua masjid di Indonesia mengikuti penetapan awal bulan Hijriyah yang diumumkan oleh Kementerian Agama. Kebijakan ini bertujuan menghindari keberagaman dalam penetapan awal bulan Hijriyah dan untuk memudahkan perencanaan kegiatan keagamaan di seluruh Indonesia. Namun M tidak setuju dengan kebijakan itu karena penetapan awal bulan Hijryah harus didasarkan pada metode hisab yang lebih ilmiah dan akurat daripada metode rukyah.

Masalah terjadi ketika pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa pengamatan hilal harus dilakukan dengan inkanul wujud (hilal sudah terlihat dengan jelas) dan harus memenuhi syarat minimal 3° di atas ufuk serta elongasi 6,5° berdasarkan kesepakatan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura

Salah satu perdebatan utama antara M dan NM terkait kriteria inkanul wujud terhadap hilal. Inkanul wujud berarti penampakan hilal secara jelas dan terang di langit saat senja hari pertama bulan Hijriah. Menurut NM, inkanul wujud adalah syarat mutlak untuk menetapkan awal bulan Hijriah dengan posisi hilal jika mencapai elongasi 6,5 °. Sedangkan M menyatakan sebaliknya bahwa inkanul wujud bukan syarat mutlak, karena hilal tidak perlu wujud berdasarkan rukyah karena rukyah menggunakan instrumen canggih sekalipun selalu mengalami pembiasan dan halangan.

M justru mengacu pada ghairu inkanul wujud yang berarti tidak harus terlihat secara jelas oleh pengamatan langsung, tetapi cukup jika hilal sudah wujud meski dibawah 3° tanpa adanya kriteria elongasi seperti distandarkan NM. Disinilah terjadi inkonsistensi NM yang terlalu mendawakan rukyah hanya dalam menentukan awal Ramadan dan syawal tetapi diluar itu termasuk jadwal salat fardhu semuanya menggunakan metode hisab. Parahnya lagi karena banyak umat Islam ikut fatwa M meski bukan warga M tetapi ingin lebaran cepat dan puasa berkurang. (*)

News Feed