English English Indonesian Indonesian
oleh

Komedi Anyar dan Heterogenitas Tanda-tanda: Resensi Film “Ambo Nai Sopir Andalan”

Keunikan kualitas film ini juga terletak pada hubungan satu demi satu latar tempat yang dibalut dengan kemasan yang sangat familiar. Lanskap-lanskap yang dimunculkan seperti Sumpang Labbu dan Camba yang khas dengan kelokannya, rekahan sawah hijau yang berbanjar di antara jalan poros Bone-Sengkang, hangat senja di pelabuhan penyeberangan Bajoe, menjadi ruang nostalgia bagi siapa pun yang pernah melewati tempat-tempat tersebut. Lagu besutan Juang Manyala turut hadir sebagai jahitan apik, yang memberikan suasana emosional bagi para penonton di transisi satu adegan ke adegan yang lainnya.

Sejak awal kemunculannya di kanal Youtube, nama Ambo Nai tidak butuh waktu lama untuk masuk ke dalam algoritme platform. Konsistensi kru dan pemain yang bernaung di dalam payung produksi bernama Timur Kota membuahkan hasil. Sekiranya garapan mandiri mereka, per hari ini, telah menembus rata-rata dua juta lebih penonton pada setiap videonya. Hal semacam ini tentunya membuat kita tidak heran dari pembawaan karakter Ambo Nai yang jenaka, amat matang di depan kamera.

Hal lain yang dapat kita temukan dalam film ini adalah semangat pembaruan. Industri perfilman Indonesia, khususnya layar lebar memang masih jawasentris. Bahkan dalam tahapan yang lebih jauh, masih jakartasentris. Wacana, gagasan, dan para kru di dalamnya masih didominasi oleh orang ibukota. Tidak jarang, kita harus geli mendengar bahasa Bugis/Makassar yang berdialek Jakarta ketika ada film yang mengangkat tema lokalitas Sulawesi Selatan.

Untuk pertama kalinya dan baru kali ini ada film nasional yang berlatar Sulawesi Selatan, menggunakan sembilan puluh lima persen bahasa Bugis sebagai bahasanya. Tidak ada bahasa yang dipaksa-paksakan sebagaimana beberapa film sebelumnya yang sudah tayang. Semua tokoh dalam film merupakan penutur bahasa Bugis dan beginilah seharusnya film yang berlatar lokalitas dikemas.

News Feed