English English Indonesian Indonesian
oleh

Drama Valentine Ungu

Oleh: Nurul Ilmi Idrus

Hari pencoblosan Pilpres telah berlangsung 14 Februari 2024 lalu, tanggal yang biasanya bertaburan dengan warna pink dalam rangka perayaan Hari Valentine di kalangan yang merayakannya. Kali ini Hari Valentine lebih bernuansa ungu karena setelah pencoblosan, rakyat harus menyelupkan salah satu jarinya ke tinta ungu sebagai bukti sah bahwa yang bersangkutan telah menggunakan hak pilihnya dan untuk mencegah adanya pemilih ganda. Penyelupan ini didasarkan pada Peraturan Komisi Pemilihan (PKPU) No. 14/2023).

Setelah Valentine Ungu, drama berbabak-babak dimulai, saling klaim kemenangan antara pendukung pasangan 01 dan 03 dan pendukung pasangan 02 tak terhindarkan. Di hari penghitungan cepat (quick count), nampak bahwa hasil perhitungan tersebut menunjukkan berbagai kejanggalan, mulai dari konsistensi angka 58% bagi kubu pasangan 02, persis sama dengan hasil survei sebelum Pilpres yang selalu disertai dengan argumen-argumen yang mengarah kepada kelayakan pemenangan pasangan 02. Persentase 58% seperti angka mati, anteng di angka yang sama karena sistemnya telah dikunci agar perolehan suara harus sesuai dengan apa yang diinginkan. Padahal, jika pasangan lain ada yang naik jumlah perolehan suaranya, makkarena jika hal tersebut diubah, maka perolehan suara pasangan lain juga harus diubah. Tidak mengherankan jika sebelum Pilpres dengungan tentang “satu putaran” bergema karena penguasa negri telah meyakini bahwa dengan cara spekulatif seperti itu, pasangan calon 02 dapat dimenangkan.

Ketidakkonsistenan jumlah suara antara formular C1 dan jumlah pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) menunjukkan adanya penggelembungan suara karena jumlah pemilih maksimal di TPS adalah 300, sementara jumlah suara yang tertera bisa berubah lebih dari 300 bahkan hingga tiga kali lipat. Penggelembungan juga dilakukan dengan cara pencoblosan fiktif secara massif, sehingga menambah perolehan suara 02.

Meskipun Pilpres 2019, kecurangan Pilpres juga terjadi dan Prabowo adalah “korban” kecurangan tersebut dan Prabowo mengetahui hal tersebut. Namun, kali ini Prabowo sendiri menerima kecurangan yang terjadi untuk memenangkannya sebagai presiden karena hanya dengan cara itu ia dapat menjadi presiden setelah tiga kali berturut-turut gagal. Ketegaran Prabowo memang patut diacungi jempol, meskipun rekam jejaknya juga tidak dapat dipungkiri cukup mengerikan. Namun, kecurangan Pilpres kali ini begitu vulgar dan seakan orang menutup mata atas kevulgaran itu yang membuatnya semakin tidak dapat ditolerir.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk menghentikan penguasa berbuat semena-mena, baik dari para akademisi yang memiliki kepedulian terhadap situasi yang terjadi, maupun dari masyarakat sipil lainnya, termauk emak-emak, segelintir mahasiswa, dan anggota masyarakat lainnya. Demonstrasi bermunculan, namun demonstrasi tersebut seakan tak bergaung, tak bertaring, seperti gerakan yang kekurangan spirit untuk memaksa penguasa dan kroni-kroninya untuk menghentikan segala pelanggaran yang dilakukan untuk memperkokoh kekuasaan. Suara-suara terbungkam.

Penguasa dan kroni-kroninya seperti pembunuh berdarah dingin yang tidak peduli dengan kondisi bangsa yang terpuruk oleh perbuatan-perbuatan mereka. Penguasa negeri seperti berhala. Ryas Rasyid menggambarkan Jokowi sebagai berhala yang tidak bisa salah, malah dipuja dan dipuji oleh followers-nya. Berani menghadapi segala hujatan tanpa merasa bersalah. Valentine kali ini memang ungu bukan pink. Ungu gelap itu memang mewakili kesedihan dan frustrasi. (*)

News Feed