English English Indonesian Indonesian
oleh

Dikubur Hidup-hidup di Atas Pemakaman Milik Negara

Oleh: M Ian Hidayat Anwar

(Pengacara Publik LBH Kota Makassar)

Di Makassar, kota mahsyur Indonesia bagian Tengah. Orang-orang berlalu-lalang, menggunakan berbagai macam transportasi. Dari berjalan kaki hingga kapal feri.

Kata “Makassar” sebagai Ibu kota Sulawesi Selatan agak rasis bagi saya, Makassar hanya menunjukkan satu suku tertentu. Sedangkan, di Kota itu terdapat berbagai macam suku bangsa yang berlalu-lalang menikmati jalur transportasi perkotaan. Saya lebih senang menggunakan “Ujung Pandang’ sebagai bagian dari tulisan saya untuk menyebut Ibukota Sulawesi Selatan ini, adapun penggunaan kata Makassar untuk mengikuti aturan normatif yang ada.

Orang-orang dari berbagai tempat mendatangi kota ini, baik untuk bekerja, belajar, berniaga atau hanya sekadar berlibur. Kota ini berlomba dengan waktu untuk menjadi kota dunia. Tak khayal, berbagai macam pembangunan dikebut untuk memenuhi ekspektasi tersebut.

Di ujung timur Ujung Pandang, Tallo dibangun berbagai macam moda transportasi dan industri untuk mempermudah laju pembangunan dan perekonomian. Gudang-gudang, pabrik, jalan jalan raya, jalan tol, hingga pelabuhan terbesar diletakkan disana.

Di penghujung hari, saya bersama Benar mengunjungi Tallo. ‘Benar’ disini adalah sebuah nama, bukan kata logika yang positif. Mungkin ayahnya penggemar Abu Bakar Assidiq, ‘Assidiq’ bisa disamakan dengan ‘benar’ dalam bahasa Indonesia. Itu inspirasi nama Benar.    

Di penghujung hari, matahari tenggelam dibalik Makassar New Port, sebuah proyek mega-reklamasi yang dianggap meningkatkan perekonomian perkotaan tapi membunuh profesi masyarakat pesisir yang menggantungkaan hidup dari laut. Pasca proyek reklamasi tersebut, laut menjadi hitam dan nelayan kehilangan area tangkapnya.

News Feed