English English Indonesian Indonesian
oleh

Pajak dalam Tinjauan Sejarah Sulsel dan Teologi

Oleh : Suwandi*
Na rekko muasengi waramparammu nala datu e mennang, mabberemu wassolo tana, na iaro mabberemu siwa tana, uasengi temmupossolangengto mennang

Kutipan dari Sureh Lontarak di atas yang kalau diterjemahkan berarti, “kalau kamu menganggap hartamu yang diambil oleh raja, sebab kamu menyerahkan hasil bumi, sebenamya pajak bumi yang kamu serahkan tidaklah membuat kalian binasa. Itu menunjukkan bahwa keberadaan pajak adalah merupakan suatu hal yang telah mendarah daging pada masyarakat Bugis khususnya dan Sulawesi Selatan pada umumnya sejak masa lampau.

Ada makna yang dapat kita ambil dari petuah leluhur tersebut. Keberadaan pajak adalah suatu keniscayaan. Pajak merupakan wujud darma atau bakti masyarakat untuk kerajaan yang oleh kerajaan akan dipergunakan untuk kepentingan kerajaan dan untuk kepentingan masyarakat. Dalam petuah leluhur tersebut juga ditekankan bahwa keberadaan pajak tersebut tidak akan menjadikan seseorang menjadi binasa atau hancur.

Di Museum Gajah Jakarta (sekarang disebut sebagai Museum Nasional), di sebuah lemari kaca, tersimpam sebuah prasasti yang terdiri dari empat lempeng tembaga yang terpahat dengan beraksarakan dan berbahasa Jawa Kuno. Itu adalah Prasasti Taji yang ditemukan di Dusun Taji, Desa Gelang Lor, Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, pada 1930.

Tanah Perdikan

Prasasti Taji dikeluarkan oleh raja Mataram Hindu, Rakyan I Watu Sanggramadurandara dengan titi mangsa 823 S/901 M. Prasasti Taji berisi penetapan Desa Taji sebagai tanah perdikan yang dibebaskan dari pengenaan pajak karena jasanya kepada negara. Prasasti Taji juga berbicara lebih jauh atas suatu pemikiran yang sangat maju, yakni memuat seperangkat kode etik bagi petugas negara sebagai pemungut pajak (seperangkat larangan).


Adanya penetapan tanah perdikan di sini dapat diartikan bahwa pada masa-masa tersebut telah berlaku dan diberlakukan pajak secara umum kepada masyarakat, hanya saja karena desa tersebut telah berjasa kepada negara/kerajaan maka diberikan anugrah dengan penetapannya sebagai tanah perdikan yang dibebaskan dari pengenaan pajak.


Begitu juga yang ada pada masa-masa kerajaan lainnya di nusantara, termasuk Kerajaan Bone, Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. Pajak telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dengan adanya kewajiban pembayaran upeti kepada kerajaan.
Dalam bukunya yang berjudul “State and Statecraft in Old Java: a Study of the Later Mataram Period, 16th to 19th Century, Soemarsaid Moertono menuliskan bahwa kepatuhan membayar upeti sangat tinggi pada masa lampau, pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan nusantara. Hal ini karena kepatuhan tersebut tak lepas dari konsep bagaimana rakyat memandang negara atau kerajaannya.


Dari sisi kajian teologi, keberadaan pajak adalah suatu hal yang tidak menyelisihi ayat-ayat dari berbagai kitab suci. Dengan kata lain, keberadaan pajak yang dipungut oleh negara tersebut adalah sesuatu yang diperbolehkan.


Dalam Al-Qur’an pada Surat An-Nisa: 59 dinyatakan bahwa : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan ulil amri di antara kamu….” Terkait dengan pajak, pajak adalah pungutan yang dibebankan kepada masyarakat yang didasarkan pada aturan negara yang dibuat oleh ulil amri. Sehingga atas hal ini tidak ada ruang bagi kita untuk menyelisihi keberadaan pajak di dalamnya.

Dalam QS: Al-Ashr: 1-3 dinyatakan bahwa : “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” Dari sini dapat ditarik suatu benang lurus bahwa pajak adalah ibadah, sebagai mana sebuah ikhtiar dan jalan agar manusia tidak dalam keadaan merugi. Muara dari pajak adalah ruang-ruang untuk kemaslahatan bersama yang merupakan cerminan dari amal saleh yang mana amal-amal yang ada tersebut akan melahirkan amal-amal jariyah dengan pahala yang tidak berkesesudahan.


Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab Fiqhuz Zakahnya menjelaskan bahwa negara terkadang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunannya. Oleh karena itu, harus dikumpulkan pajak sebagai salah satu jihad harta.

Aspek Agama

Dalam ruh yang sama, dalam Al Kitab pada Roma 13 ayat 1 dikatakan bahwa “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah.”


Sementara dalam Al Kitab pada Matius 22: 17-21 ketika orang Farisi bertanya kepada Yesus sebuah pertanyaan. “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu : Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?…. Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”


Begitu pula dalam ajaran agama Hindu, pajak merupakan sebuah kegiatan Yadnya, yaitu kegiatan tulus ikhlas yang ditujukan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian warga masyarakat terhadap negaranya. Dalam kitab seperti Manawa Dharmasastra maupun Arthasastra secara jelas menyatakan bahwa pajak memang diperkenankan dalam kehidupan masyarakat.


Dalam Manawa Dharmasastra X, 118 (Pudja dan Sudartha, 2003) dinyatakan bahwa : “Seorang Ksatria yang dalam keadaan susah mengambil seperempat dari hasil panen dinyatakan bebas dari kesalahan, kalau ia melindungi rakyatnya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya”.


Sementara dalam ajaran agama Buddha, pajak merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan untuk dipenuhi oleh setiap umat. Hyang Buddha menganjurkan agar seseorang tidak melupakan tempat kelahirannya, tempat ia dibesarkan, dan juga tempat ia memperoleh keberhasilan.
“Seorang Bodhisattva akan selalu ingat untuk membalas empat Budi Besar, yaitu: Budi Orang Tua dan Guru, Negara , Bangsa, serta Triratna.”


Inilah pajak di mana dari sejarah panjang yang ada telah menjadi urat nadi dan tiang utama keuangan negara dan juga merupakan bagian dari ibadah sebagai bentuk aktualisasi keimanan kita semua. Pajak adalah sebuah keniscayaan di tengah peradaban agung manusia. Pada akhirnya, bahwa pajak dari masyarakat akan bermuara pada kemaslahatan masyarakat pula. (*)

*Penulis merupakan Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Maros
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja

News Feed