English English Indonesian Indonesian
oleh

Tanah Abang Nyaris Tumbang

Spektrum: Saharuddin Daming

Salah satu landmark di kota Jakarta yang menjadi daya tarik banyak orang untuk mengunjunginya adalah Pasar Tanah Abang (PTA). Pusat grosir tekstil terbesar di Asia ini memiliki sejarah panjang, dimulai sejak didirikan pertama kali oleh Justinus Vinck pada tahun 1735 sebagai pejabat tinggi VOC pada masa itu, yang mendapat izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patramini.

Namun, dengan adanya perkembangan zaman, kini kejayaan PTA mulai memudar dan bahkan nyaris tumbang. Situasi ini tercermin dari sepi pembeli yang mengakibatkan banyak pedagang harus menutup kios-kios dagangan mereka secara bertahap. Para pedagang PTA menuding pasar online khususnya TikTok Shop sebagai ancaman serius bagi bisnis mereka.

Keluhan juga mencakup peran sejumlah selebriti yang dianggap menjadi biang kerok penurunan pembeli di PTA. Para selebriti ini aktif dalam mendukung produk tertentu melalui media online, bahkan seringkali melakukan live streaming dengan penawaran harga istimewa atau flash sale. Hal ini memicu persaingan di antara konsumen untuk mendapatkan penawaran terbaik, suatu dinamika yang tidak umum dijumpai dalam pengalaman berbelanja offline, terutama di PTA.

Dalam situasi yang semakin kompetitif, pengelola PTA seharusnya berperan aktif melakukan berbagai langkah promosi untuk menyemarakkan para pengunjung tertarik datang ke PTA. Sayangnya, karena pengelola PTA cenderung mengabaikan hal ini dan tetap membebankan biaya sewa kios dengan tarif tetap setiap bulannya tanpa peduli dengan situasi sulit yang dialami para pedagang, akibatnya para pedagang cenderung memilih untuk menutup usaha mereka daripada harus menanggung beban pembayaran sewa kios, gaji karyawan, dan biaya lainnya yang membengkak.

Fenomena sepi pembeli yang terjadi di PTA tidak hanya terbatas pada satu lokasi, melainkan terjadi hampir di seluruh mall serupa di berbagai kota besar di Indonesia. Hal ini sangat memprihatinkan karena mall tidak hanya berfungsi sebagai pusat perbelanjaan, tetapi juga sebagai tempat hiburan untuk sekedar cuci mata.

Musibah yang menimpa belanja offline, bermula sejak awal tahun 2020, saat dunia mengalami dampak besar dari pandemi COVID-19 yang memaksa pemerintah di berbagai negara, termasuk di Indonesia, untuk menerapkan pembatasan mobilitas guna menekan penyebaran virus. Kondisi ini memaksa masyarakat untuk beralih dan lebih terbiasa dengan penggunaan teknologi dan internet, terutama dalam hal belanja secara online. Ketika situasi pandemi mulai mereda dan pembatasan perlahan-lahan dicabut, ternyata masyarakat sudah terlanjur terbiasa dan merasa nyaman dengan fasilitas belanja online yang telah mereka kenal selama masa pandemi. Akibatnya, pasar online kebanjiran orderan dengan meninggalkan pasar offline.

Ketimpangan persaingan antara pasar online dan offline memang perlu pengaturan, namun pengaturan ini seharusnya tidak membatasi atau menyulitkan konsumen, melainkan untuk memastikan bahwa pengalaman belanja online konsumen terjamin. Hal ini tidak boleh menjadi alasan bagi Pemerintah untuk memaksa konsumen beralih ke toko offline. Hal ini sangat tidak fair karena pengelola PTA maupun para pedagangnya, tidak pernah melakukan introspeksi dengan belajar dari metode yang digunakan oleh toko online dalam mempengaruhi konsumen.

Mereka sengaja lupa atau memang abai bahwa perubahan perilaku konsumen yang semakin cenderung memilih untuk berbelanja melalui platform online, karena banyaknya keuntungan yang ditawarkan oleh belanja online, seperti kemudahan, aksesibilitas, penawaran diskon, dan variasi produk yang lebih luas. Selain itu, pengaruh media sosial dan selebriti yang aktif mempromosikan produk melalui online juga memainkan peran penting dalam mengubah preferensi konsumen. (*)

News Feed