English English Indonesian Indonesian
oleh

Gaukang Bajeng 14 Agustus 1945: Mnemonik Kultural hingga Nasional

OLEH: Muh. Fadhly Kurniawan, S. Pd., M. Hum, ([email protected])

Peneliti Transkrip Tradisi Lisan Indonesia;

Alumni Fakultas Ilmu Budaya-Universitas Indonesia

Pada tanggal 14 Agustus lalu, saya bersama teman-teman lembaga seni Sulapa Appa bidang penelitian dan pengembangan melakukan riset lapangan lanjutan di Bajeng-Limbung, Kabupaten Gowa. Beberapa hari sebelumnya, kami menziarahi makam tokoh bandit sosial yang populer sekitar awal tahun 1900-an bernama I Tolok Daeng Magassing, kemudian berlokasi di Bungung Barania (sumur yang diberkati, khususnya bagi para Tubarani prajurit kerajaan) kami menyaksikan pertunjukan Sinrili’ oleh Arif Dg. Rate, tema yang dituturkan yaitu mengenai sejarah singkat kerajaan Bajeng, yang selanjutnya diklarifikasi dalam bentuk diskusi oleh Bapak Haskar Dg. Sigollo dan Sadikil Wahdi—tokoh masyarakat adat dan pemuda Bajeng.

Kembali merujuk tanggal 14 Agustus, di istana Balla’ Lompoa Bajeng menjadi hari bersejarah bagi saya. Jujur, bila ditaksir sekitar lebih sepuluh tahun akhirnya saya mengikuti upacara bendera lagi. Namun, kali ini sangat istimewa karena tidak hanya upacara bendera merah putih, tapi sekaligus sebagai upacara kultural masyarakat adat Bajeng, yaitu dibukanya Gaukang (benda pusaka) serta pengibaran bendera kerajaan Bajeng yang dinamai Jole-jolea.

Impresi pertama saat tiba di lokasi sangat mengesankan, seluruh peserta upacara menggunakan kostum adat Makassar. Artinya kegiatan ini merupakan suatu kegiatan seremonial yang memiliki nilai kultural yang kuat. Para tamu undangan berdatangan dari berbagai wilayah, misalnya dari kerajaan Tallo, mantan Pangdam TNI, dewan adat, dan berbagai tokoh masyarakat.

Dalam upacara tersebut, sejarah peristiwa pengibaran bendera 14 Agustus 1945 dibacakan oleh pembina upacara, H. Rusli Sumara Dg. Rate. Dalam kesejarahannya, peristiwa ini bermula saat perwira Jepang bernama Fukushima hadir di Bajeng pada hari Jumat 10 Agustus 1945. Kehadirannya bermaksud untuk melihat benda bersejarah pusaka kerajaan yang dinamai Gaukang Tu Bajeng namun ditolak oleh Batang Banoa Limbung sebagai penanggung jawab, adapun syaratnya itu harus melibatkan Batang Banoa Appaka, atau empat dewan adat untuk membuka gaukang kerajaan tersebut.

Pada hari Sabtu tanggal 11 Agustus, berkumpul 4 Batang Banoa Limbung yang diwakili oleh Mattulolo Dg. Rurung, Batang Banoa Mata Allo diwakili oleh Nuhung Dg. Bani, Batang Banoa Ballo diwakili oleh Neko Dg. Ngago, Batang Banoa Pammase yang diwakili oleh Pakke Dg. Sua, dan beberapa tokoh adat Bajeng. Di hadapan mereka, Fukushima mengatakan Jepang telah mengaku kalah setelah peritstiwa pengeboman Nagasaki dan Hiroshima oleh sekutu, olehnya itu masyarakat harus melakukan persiapan dan perlawanan agar imperialisme Belanda tidak kembali menguasai monopoli Nusantara.

Setelah melakukan diskusi dan pertimbangan yang panjang, akhirnya dewan adat sepakat bahwa gaukang akan dibuka pada tanggal 14 Agustus di hadapan para keluarga besar Bajeng, sesuai pesan leluhur bahwa gaukang harus disaksikan secara bersama. Berita pembukaan benda pusaka tersebut tersebar luas selama dua hari, dan pada hari Selasa 14 Agustus menjadi momentum bersejarah di istana Balla’ Lompoa untuk pertama kalinya gaukang dibuka di hadapan keluarga besar Bajeng.

Dengan hikmat sebuah peti kayu dibuka yang berisi sehelai bendera ornamen warna merah dan putih, bendera itu dinamai Jole-jolea. Kemudian ada juga bendera berwarna merah polos segi empat panjang yang merupakan bendera perang, konon, bila bendera tersebut dikibarkan berarti Bajeng berada dalam keadaan darurat atau sebagai tanda perang. Pada hari itu bendera kerajaan disussuru berdampingan merah putih, saat itu upacara disaksikan oleh seluruh dewan adat dan masyarakat Bajeng. Berkibarnya bendera tersebut secara simbolis menandakan bahwa Bajeng sudah berada dalam kondisi siap perang.

Menurut pesan leluhur Tu Bajeng, sebelum berperang mereka dianjurkan untuk berkumpul di Bungung Barania untuk A’dingingdinging—secara hemat saya artikan sebagai bentuk tafakkur atau bermunajat sebelum berperang. Lanjut, masih di hari yang sama, pada hari Selasa pukul 9 pagi, bendera Jole-jolea diarak oleh ribuan rakyat Bajeng dengan pengawalan prajurit Tubarani menuju Bungung Barania. Selama tiga hari A’dingingdinging di Bungung Barania diisi kegiatan keiatan tradisional, termasuk kegiatan kesenian bela diri Manca

Pada tanggal 17 Agustus, saat diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Bajeng kembali melakukan upacara ulang di Panranga, bersamaan dengan itu dicetus sebuah gerakan pemuda Bajeng yang merupakan cikal bakal Laskar Lipang Bajeng. Singkat cerita, peristiwa yang terjadi di Bajeng ini akhirnya mendapatkan pengakuan de jure oleh pemerintah RI pada tahun 1952 dengan dibuktikan pemberian dua helai bendera merah putih oleh Presiden Sukarno, gerakan ini merupakan pengejawantahan nasionalisme dan patriotisme yang patut ditiru wilayah lain.

Dari peristiwa upacara tersebut, saya berhipotesa bahwa secara de facto Bajeng telah mengdeklarasikan dirinya sebagai tanah adat yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih di tanah Nusantara ini. Artinya, Bajeng merupakan wilayah pencetus spirit kemerdekaaan Indonesia. Hal itu merupakan sebagai penanda dan identitas kultural masyarakat Bajeng yang perlu dijaga. Betapa bangganya menjadi masyarakat adat Bajeng, namun, di sisi lain hal itu dapat bersifat bumerang bagi mereka apabila mereka abai dalam memelihara nilai-nilai spirit yang diperjuangkan selama ini. Setelah upacara dilaksanakan, kami berkumpul di rumah Dg. Sigollo melanjutkan diskusi singkat mengenai hal-hal kelindan kerajaan Bajeng. Dan sesaat sebelum pamitan, saya terngiang kalimat Sadikil Wahdi yang mengatakan bahwa “pelacakan jejak sejarah sangat tepat bila bermula dilakukan di Bajeng”. Kalimat itu sangat menghantui isi kepala dan penuh tanda tanya sampai sampai saat ini.

Sebagai penutup, peristiwa tanggal 14 Agustus 1945 dan Gaukang Tu Bajeng tidak hanya dimaknai sebagai peristiwa dan benda kultural peninggalan leluhur saja, lebih dari itu, yaitu sebagai motivasi dan spirit lokal hingga nasional. Melalui gaukang, orang Bajeng telah mengimplementasikan falsafah masyarakat Makassar yaitu menegakkan siri’ yang dimanifestasi sebagai harkat martabat dan harga diri. Olehnya itu, judul artikel ini saya namai “Gaukang Bajeng 14 Agustus 1945: Mnemonik Kultural hingga Nasional, yang artinya Gaukang Bajeng merupakan medium pengingat, spirit dan roh kemerdekaan negara Republik Indonesia.

Bajeng, negeri para Tubarani.

Onjoki To Bajeng. Merdeka! 

Kurrusumanga’.

News Feed