English English Indonesian Indonesian
oleh

Berhenti Dirikan Sekolah Berkualitas Buruk

OLEH: Saharuddin Ronrong, Kepala Departemen Kurikulum Sekolah Islam Athirah / Fasilitator Sekolah Penggerak Kemdikbudristek RI

Indeks sumber daya manusia di Indonesia tampaknya belum bisa sementereng peringkat sumber daya alam yang negara ini punyai.

Misalnya, produksi batu bara yang menempati urutan tiga dunia, penghasil nikel terbesar di dunia, pengekspor minyak sawit nomor satu dunia hingga menjadi produsen kakao nomor tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Dalam bidang pendidikan dan sumber daya manusia kita jauh tertinggal. Berdasarkan penelitian Lant Pritchett, seorang profesor di Universitas Harvard, pendidikan Indonesia ditengarai  tertinggal kurang lebih 128 tahun dari negara-negara dengan kualitas dan sistem pendidikan terbaik dunia misalnya Jerman, Finlandia dan Singapura.

Peringkat PISA (The Program for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study)  juga tidak menggembirakan, tes yang memotret kemampuan siswa dalam bidang matematika dasar, kemampuan membaca, dan sains juga sangat memprihatinkan, PISA yang menyasar anak usia lima belas tahun dan TIMSS yang mengukur kemampuan siswa kelas 4 SD dan 8 SMP secara konsisten menempatkan Indonesia di posisi bawah dengan skor rendah. Tidak heran jika kualitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia (sebagai outcome) juga jauh berada di bawah negara lain, belum lagi jika kita berbicara mengenai ranking universitas, riset, inovasi, dan jumlah hak paten yang ada di negara kita.

Realitas yang tampak dari potret pendidikan kita justru adalah tingginya angka  perundungan, intoleransi, serta maraknya tawuran yang menunjukkan gejala gagalnya pendidikan karakter di Indonesia. Realitas lain seperti sepinya perpustakaan sekolah, juga memberi sinyal budaya membaca dan belajar masih sangat jauh dari harapan.

Kemampuan 4C yakni kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif yang merupakan kompetensi abad 21 masih sebatas slogan yang jauh api dari panggang, sejauh cita-cita meretas jalan meraih nobel sains dengan mengandalkan sistem pendidikan/akademik dan geliat riset dalam negeri.

Menanti solusi

Salah satu solusi yang dinanti adalah transformasi 399 ribu lebih satuan pendidikan (sekolah) yang ada di nusantara ini menjadi garda terdepan dalam pemulihan kualitas pendidikan di Indonesia. Proses perubahan dan perbaikan yang serentak yang bisa membentuk critical mass untuk mendorong terjadinya transformasi pendidikan yang signifikan.

Solusi lain adalah mendorong hadirnya sekolah-sekolah yang menawarkan kualitas bagus yang sekaligus (seharusnya) menawarkan akses yang luas kepada masyarakat.

Jika menilik data yang ada, ribuan sekolah baru, negeri maupun swasta didirikan setiap tahun di Indonesia. Jumlah ini tentu bisa menjadi harapan akan hadirnya alternatif pendidikan yang lebih baik dan semakin beragam bagi masyarakat kita.

Tapi seperti apa kondisi sekolah-sekolah ini di lapangan, tidak sedikit yang didirikan asal-asalan dengan konsep pendidikan yang tidak terarah, fasilitas yang buruk, sumber daya manusia yang tidak memenuhi secara kuantitas maupun secara kualitas, ditambah pengelolaan yang amburadul.

Jika merujuk kepada Permendikbud RI No. 36 Tahun 2014 tentang izin mendirikan satuan pendidikan, tampaknya bukan perkara yang sulit untuk membangun sekolah. Oleh karena itu, jangan heran jika yayasan pendidikan menjamur di mana-mana. Di satu sisi, hal ini menambah daya tampung peserta didik sehingga semakin banyak anak-anak yang bisa mengenyam bangku sekolah terutama yang tidak tertampung di sekolah negeri milik pemerintah, tapi di sisi lain kita harus berhati-hati terhadap kualitas pembelajaran yang akan diterima oleh siswa setiap hari pada kurun waktu yang relatif lama.

Petaka pendidikan

Kehadiran satuan pendidikan baru yang semula menjadi solusi bisa menjadi petaka jika tidak dikontrol dan dimonitor dengan baik menggunakan indikator dan mekanisme yang ketat.

Kita harus menghindari pendirian satuan pendidikan yang hanya mengedepankan aspek bisnis, menciptakan legasi, mencari citra baik, sekedar hobi, bahkan hanya ikut-ikutan tanpa visi pendidikan yang jelas serta siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action) yang ajeg dan handal, pihak yang memiliki otoritas juga perlu memastikan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang ada pada satuan pendidikan tersebut dipenuhi dan dijalankan dengan sebaik-baiknya..

Wajah pendidikan kita yang sudah muram ini, jangan lagi dibuat lebih muram dengan mendirikan sekolah yang buruk. Jangan menambah berat beban negri ini yang memang sedang tidak baik-baik saja. (*)

News Feed