English English Indonesian Indonesian
oleh

Peranan dan Tantangan Jurnalistik Islam di Era Revolusi Industri 4.0

Oleh : Alfiansyah Anwar, Mahasiswa Program Doktor UIN Alauddin Makassar

Gempuran informasi melalui media sosial (medsos) tidak memadamkan eksistensi jurnalisme. Bahkan jurnalisme menjadi benteng atau penahan gelombang informasi yang tersebar di medsos. Simbiosis mutualisme antara media massa Pers dengan platform media sosial sering terjadi. Biasanya informasi awal dari media sosial kerap jadi acuan informasi pengelola media massa. Informasi permulaan tersebut dikonfirmasi oleh jurnalis ke pihak terkait untuk mengecek kebenarannya. Begitu pula sebaliknya, berita yang telah diolah dan diterbitkan jajaran redaksi kemudian disebarkan melalui platform media sosial di era revolusi industri 4.0 saat ini. Tujuannya untuk menjangkau lebih luas pembaca atau pemirsa.

Dalam buku “The Fourth Industrial Revolution”, Menurut Klaus (Schwab, 2016) dunia telah melalui empat fase revolusi yang berbeda. Revolusi industri telah memasuki fase baru yang dikenal sebagai era revolusi 4.0. Revolusi tersebut  memiliki pengaruh yang dirasakan di berbagai bidang, termasuk jurnalisme. Istilah era 4.0 telah dikenal luas oleh masyarakat, dan berbagai sektor seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya telah mempersiapkan diri untuk memasuki periode ini.

Istilah “revolusi” digunakan karena perubahan yang terjadi memiliki dampak besar pada ekosistem global dan gaya hidup kita. Bahkan, revolusi industri 4.0 dipercaya memiliki potensi secara signifikan meningkatkan perekonomian dan kualitas hidup.

Menurut (Purba, dkk.:2021), revolusi industri 4.0 telah meningkatkan efektivitas, aksesibilitas, dan mengurangi pemborosan dalam berbagai bidang. Sebagai contoh, dalam produksi makanan, teknologi canggih dapat digunakan untuk menggantikan tenaga manusia dalam pengelolaan dan produksinya.

Revolusi industri 4.0 merujuk pada era industri digital di mana semua komponennya saling bekerja sama dan berkomunikasi secara real-time, tidak terbatas oleh lokasi dan waktu. Tentunya dengan memanfaatkan teknologi informasi seperti internet dan berbagai konsep seperti CPS, IoT, dan IoS. Tujuannya untuk menciptakan inovasi baru atau meningkatkan efisiensi.

Istilah “industri 4.0” secara resmi diperkenalkan di Jerman pada tahun 2011 di acara Hannover Fair. Jerman memiliki peran penting dalam pengembangan ini, dan konsep industri 4.0 menjadi bagian dari strategi pembangunan jangka panjang yang dikenal sebagai High-Tech Strategy 2020.

Revolusi industri keempat, tercatat berasal dari penemuan mesin uap oleh James Watt pada abad ke-18, muncul di Jerman dan diusulkan saat Festival Pameran Industri di Hannover pada tahun 2011. Revolusi Industri 4.0 menawarkan manfaat besar, seperti fleksibilitas, kecepatan proses kerja, konektivitas yang meningkat antarindividu, dan pengendalian terpadu dalam operasional perusahaan. Namun, terdapat dampak negatif seperti meningkatnya risiko kejahatan internet yang semakin intensif dengan penyebaran luas revolusi Industri 4.0, serta potensi polarisasi kelompok sosial dalam masyarakat (Sutrisno, 2018).

Selain memengaruhi kehidupan sehari-hari, revolusi industri 4.0 juga memiliki dampak yang signifikan terhadap dunia jurnalistik. Salah satunya jurnalisme digital atau “Jurnalisme Online”.

Istilah “Jurnalisme Online” telah dikenal sejak era sebelumnya, namun kian populer saat memasuki era 4.0. Kemajuan teknologi yang semakin canggih dan ketergantungan masyarakat pada perangkat gadget seperti ponsel memberikan tantangan bagi para jurnalis dalam menjalankan tugas mereka, termasuk bagi jurnalis muslim yang menjalankan jurnalisme dengan pendekatan Islami.

Jurnalistik sebagai profesion dan praktik yang bertujuan untuk menyampaikan informasi yang akurat, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, menghadapi tantangan baru dalam menghadapi perkembangan teknologi dan perubahan sosial.

Dalam konteks ini, Islam sebagai agama yang memiliki sejarah dan prinsip-prinsip etika yang kuat dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, juga harus menghadapi tantangan yang timbul dalam dunia jurnalistik modern.

Artikel ini bertujuan membahas kedudukan dan jurnalistik dalam Islam dan tantangan yang dihadapinya di era revolusi industri 4.0.

Jurnalis Islami Hadapi Tantangan di Era Baru

Pentingnya peran jurnalis muslim sebagai penjaga kebudayaan Islam yang kompeten dan sebagai penggerak kebudayaan yang dinamis. Akibatnya, masyarakat muslim mengharapkan kehadiran jurnalis muslim di era 4.0 untuk menjadi pelopor dalam menyampaikan pesan melalui berbagai media seperti cetak, elektronik, dan online. Tujuan utama mereka adalah memperjuangkan kebenaran. Selain itu, diharapkan pula bahwa mereka akan menjaga akhlak serta menghormati martabat pribadi dan keluarga mereka. Salah satu prinsip jurnalistik islami yang harus diperhatikan yakni kejujuran.

Hadis Nabi Muhammad Saw  yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud (al-Hajjaj, 2013) yang terjemahnya:  “Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim).

Umat Islam diajarkan untuk selalu berbicara dengan kebenaran, menghindari kebohongan, dan menghargai integritas komunikasi. Rasulullah Muhammad saw terkenal sebagai seorang yang sangat jujur dan amanah. Kejujuran itulah merupakan salah satu ciri utama kepemimpinannya. Dalam konteks jurnalistik modern, prinsip kejujuran ini sangat relevan. Umat muslim yang terlibat dalam dunia jurnalistik harus berkomitmen menyampaikan fakta secara jujur dan akurat kepada masyarakat.

Selain kejujuran, Islam juga menganjurkan prinsip keadilan dalam berkomunikasi. Rasulullah Saw mengajarkan pentingnya memperlakukan semua orang dengan adil, tanpa memihak atau diskriminasi. Dalam konteks jurnalistik, prinsip keadilan ini mengharuskan jurnalis muslim  memberikan ruang yang adil dan seimbang bagi berbagai sudut pandang dalam suatu berita atau isu yang mereka laporkan. Mereka harus menghindari prasangka atau bias yang dapat merugikan kelompok atau individu tertentu.

Dalam bahasa jurnalistik modern, keadilan dalam kegiatan jurnalistik tersebut sering disebut cek dan ricek yang mengedepankan cover both side atau keberimbangan.

Jurnalisme Islami juga bertujuan memengaruhi masyarakat agar menjauhi perilaku melanggar aturan agama, merusak, dan menawarkan solusi Islami untuk setiap masalah. Prinsip pemeriksaan dan verifikasi informasi (cek dan ricek)  yang merupakan pedoman umum dalam jurnalisme juga harus diikuti dalam jurnalisme Islami (Romli, 2016:120).

Pentingnya cek dan ricek atau tabayun ini juga sudah tertulis dalam Al-Quran Surah Al-Hujarat, 49:6. Ya ayyuhal-lazina amanu in jaakum fasiqum binaba’in fa tabbayyanu an tusibu qaumam bijahalatin fa tusbihu ala ma fa’altum nadimin. Terjemahnya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuanmu yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu”. (Dikutip dari quran.kemenag.go.id diakses Sabtu, 24/6/2023)

Dengan begitu, seluruh warga yang berprofesi sebagai jurnalis karena bersifat universal, baik itu muslim maupun non muslim harus jujur dan disiplin memverifikasi informasi. Utamanya yang viral dan tersebar di platform media sosial seperti facebook, whatsapp, instagram, tiktok, twitter, telegram, youtube, website dan sejumlah platform medsos lainnya. Para jurnalis jangan mudah percaya sebelum melakukan konfirmasi ke pihak terkait menyangkut peristiwa atau informasi yang diperoleh di medsos. Bahkan jurnalis berupaya melakukan cek fakta menggunakan beberapa aplikasi agar terhindar dari hoaks atau berita bohong.

Jurnalis juga harus berani dan rajin mengkonfirmasi dua belah pihak yang bersengketa. Salah satunya, bila jurnalis memperoleh informasi dari masyarakat yang mengkritisi kebijakan pemerintah. Misalnya, dugaan korupsi di salah satu instansi pemerintahan.

Dalam melakukan pekerjaan, jurnalis juga diwajibkan menaati Kode Etik Jurnalistik. Ini perlu, agar informasi yang diliput lalu diolah jadi berita kemudian dipublikasikan tim redaksi, bisa berimbang atau cover both side.

Selain kejujuran, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi prinsip penting dalam Islam. Setiap individu, tanpa memandang agama, ras, atau latar belakangnya, memiliki hak untuk dihormati dan dihargai. Dalam dunia jurnalistik modern, ini berarti jurnalis muslim harus menjaga privasi individu, menghindari fitnah, dan menghormati martabat setiap orang yang terlibat dalam sebuah berita. Mereka juga harus mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis dari pemberitaan mereka terhadap individu atau kelompok yang terkena dampak.

Sejarah dan Pengertian Jurnalistik

Kemerdekaan Indonesia memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan jurnalisme di negara ini. Dalam era pasca-kolonial, kebebasan ekspresi dan pers yang diperoleh memungkinkan jurnalis untuk melaporkan secara independen, mengemukakan suara-suara yang berbeda, dan mengkritisi pemerintah tanpa intervensi asing. Perkembangan media cetak, radio, dan televisi menjadi sarana penting dalam membangun identitas nasional, menyebarkan pemikiran kebebasan, dan mendidik masyarakat.

Kemerdekaan juga mendorong perkembangan jurnalisme investigasi yang memperkuat akuntabilitas publik dan mengawasi pemerintahan. Partisipasi aktif masyarakat dan penghormatan terhadap kebebasan pers menjadi ciri khas jurnalisme Indonesia pasca-kemerdekaan. Sebab jurnalis memainkan peran penting dalam membangun demokrasi dan mendorong perubahan sosial yang positif.

Menurut Haryadi dikutip dari buku (Jailani, 2017), menyatakan bahwa Pers Indonesia semakin memperkuat peranannya pada akhir tahun 1945 melalui kehadiran beberapa surat kabar yang aktif dalam menyebarkan propaganda untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Surat kabar tersebut antara lain Soeara Merdeka di Bandung, Berita Indonesia di Jakarta, dan The Voice of Free Indonesia.

Asal-usul kata “jurnalistik” berasal dari kata “jour” dalam bahasa Perancis yang mengacu pada catatan atau laporan harian. Secara sederhana, jurnalistik dapat dijelaskan sebagai aktivitas yang terkait dengan pembuatan catatan atau pelaporan yang dilakukan secara rutin setiap hari. Dalam bahasa Inggris, kata “journal” memiliki beragam makna, termasuk surat kabar, majalah, dan juga buku harian atau diary (AS. Haris Samadiria, 2003).

Sementara itu, istilah “jurnalistik” mengacu pada bidang kewartawanan atau aktivitas yang terkait dengan penyampaian berita atau informasi (Asep Samsul M. Romli, 2006). AS Haris Sumadiria menyimpulkan bahwa jurnalistik melibatkan serangkaian kegiatan seperti persiapan, pencarian, pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan penyebaran berita melalui media periodik kepada khalayak secara luas dan secepat mungkin.

Peranan Jurnalistik dan Posisinya sebagai Media Dakwah

Menurut (Andries Kango, 2014), bahwa jurnalisme Islami memiliki peran ganda sebagai sarana dakwah. Selain sebagai sumber informasi, pendidikan, dan hiburan, jurnalisme Islami juga berfungsi sebagai panduan spiritual dan pengembangan misi “amar ma’ruf nahi mungkar” (mendorong kebaikan dan mencegah keburukan).

Kango juga menjelaskan peran penting jurnalis dakwah dalam masyarakat sebagai subjek media. Sedikitnya, lima peran jurnalis dakwah yang harus dijalankan dan dikembangkan yakni sebagai pendidik, pelurus informasi, pembaharu, pemersatu, dan pejuang.

Tantangan Jurnalistik Islam di Era Revolusi Industri 4.0

Sedikitnya ada tiga tantangan jurnalistik bercorak islami yakni;

1. Tantangan Penyalahgunaan Profesi

Adanya tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan menjadi tantangan dalam menjaga integritas jurnalis. Jurnalis sering dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memilih antara kebenaran dan tekanan yang diberikan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Penyalahgunaan profesi juga dapat terjadi dalam bentuk penerimaan suap atau gratifikasi yang memengaruhi independensi dan objektivitas jurnalis.

Hal ini juga sudah tertuang pada pasal 6 Kode Etik Jurnalistik. Isinya; Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Tafsirannya; Menyalahgunakan profesi berarti melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh saat menjalankan tugas sebelum informasi tersebut diketahui oleh publik secara umum. Sementara itu, suap adalah pemberian berupa uang, barang, atau fasilitas oleh pihak lain yang mempengaruhi independensi. (Dikutip dari buku saku wartawan, Dewan Pers, 2020).

2. Tantangan Jurnalisme Islam dalam Bidang Teknologi dan Dunia Digital

Perkembangan teknologi dan era digital menjadi tantangan yang perlu mendapat perhatian khusus dalam jurnalisme Islam (Rizha: 2022). Kemajuan dunia digital telah mengubah cara masyarakat memperoleh informasi. Mereka tidak lagi terikat pada tempat atau media tertentu. Terutama saat ini, siapa pun dapat dengan cepat memperoleh informasi apapun melalui teknologi smartphone. Dengan membuka layar smartphone yang semakin canggih dan terkoneksi internet, maka kita dapat mengetahui berbagai peristiwa dalam waktu yang sangat singkat. Namun, jika kita melihat kembali, seberapa banyak informasi yang terkait dengan dunia Islam yang dapat kita temui? Tentunya jumlahnya sangat minim.

Jika jurnalisme Islam mampu menguasai teknologi media dengan baik atau memanfaatkan platform media sosial yang tersedia dalam era digital, maka audiens akan lebih mudah mengakses berita atau konten yang didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalisme Islam. Namun, jurnalisme bercorak islami juga dihadapkan pada tantangan dalam konten atau penyajian informasi. Saat ini, jurnalisme Islam dianggap masih tertinggal dibandingkan dengan jurnalisme umum. Minat pembaca terhadap media Islam juga cenderung lebih rendah dibandingkan dengan media umum atau hiburan yang terus berkembang. Bahkan, beberapa media sering kali tidak mengikuti etika dalam menyampaikan berita, seperti praktik media sensasional (media kuning).

Ini menjadi fokus utama bagi jurnalisme Islam dalam menyajikan informasi yang menarik minat masyarakat tanpa mengandalkan konten provokatif. Jurnalisme Islam harus mampu menyajikan informasi yang berkesan dan tetap memegang teguh norma dan etika pers, baik secara umum maupun dalam konteks Islam. Jurnalisme Islam perlu berfokus pada penyampaian informasi yang didasarkan pada nilai-nilai yang baik. Prinsipnya adalah mengajak dan memengaruhi orang lain untuk menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Tantangan lain yang sering dihadapi oleh jurnalisme Islam adalah keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkomitmen untuk memajukan media berbasis jurnalisme Islam.

Oleh karena itu, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam jurnalisme Islam menjadi sangat penting, baik di tingkat nasional maupun tingkat global. Agar dapat menjadi penyeimbang dalam menyampaikan informasi kepada publik. Jurnalisme Islam yang diperlukan adalah yang berdasarkan pada idealisme Islam dan menerapkan risalah Islam dalam semua aspeknya. Lebih dari sekadar mempromosikan Islam sebagai slogan, yang terpenting adalah memiliki tanggung jawab ganda dalam menyatukan umat dan mengatasi perpecahan golongan.

3. Tantangan Berita Hoaks

Perkembangan teknologi dan era digital menjadi tantangan yang perlu mendapat perhatian khusus dalam jurnalisme Islam (Rizha: 2022). Penyebaran berita bohong atau berita hoaks menjadi tantangan yang kompleks bagi jurnalis muslim karena berdampak pada isu-isu sensitif yang berkaitan dengan agama, etnis, dan politik. Terlebih menjelang Pemilu 2024 mendatang.

Beberapa alasan mengapa penyebaran berita hoaks dapat menyebar dengan cepat dan luas karena sifat viral media sosial, kurangnya literasi media, serta kecenderungan masyarakat untuk mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan atau pandangan mereka.

 Solusi Jurnalistik Islami di Era Revolusi Industri 4.0

Jika ada tantangan, tentu ada solusi menghadapi suatu permasalahan. Solusi tersebut yakni;

1. Solusi agar Jurnalis tidak Menyalahgunakan Profesi

Guna mencegah penyalahgunaan profesi jurnalis, terdapat beberapa solusi yang dapat diterapkan yakni penerapan Kode Etik Jurnalistik. Untuk diketahui, Dewan Pers telah menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang mengatur prinsip-prinsip etika dalam praktik jurnalistik. Wartawan diharapkan menjaga kehormatan profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun dari sumber berita, tidak menggunakan cara-cara pemaksaan dan intimidasi, serta menghasilkan berita yang akurat dan tidak beritikad buruk.

Tak hanya itu, diperlukan pengawasan ketat terhadap praktik jurnalistik dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran etika. Dewan Pers dan lembaga terkait dapat memantau kegiatan jurnalis dan memberikan sanksi kepada mereka yang melanggar kode etik.

Pendidikan masyarakat juga memiliki peran penting dalam mencegah penyalahgunaan profesi jurnalis. Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka dalam berinteraksi dengan wartawan, mereka dapat lebih waspada terhadap praktik-praktik yang tidak etis. (Dikutip dari dewanpers.or.id)

Selain itu, perusahaan pers dan organisasi wartawan harus berupaya memberikan pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan untuk memperkuat pemahaman tentang etika jurnalistik kepada wartawan. Dengan pemahaman yang baik tentang tanggung jawab dan prinsip-prinsip profesi, wartawan dapat lebih mampu menghindari penyalahgunaan profesi tersebut. (Dikutip dari journal.uii.ac.id, diakses Rabu, 5/7/2023).

2. Solusi dari Jurnalisme Islam dalam Bidang Teknologi dan Dunia Digital.

Memperkuat sajian informasi dengan data yang akurat merupakan gaya jurnalisme bermutu di tengah gempuran platform media sosial kepada khalayak. Era digital menunjukkan seorang jurnalis akan selalu bersentuhan dengan teknologi. Dengan adanya digitalisasi pada saat ini, dimensi teknologi akan menjadi semakin penting dalam jurnalisme. Dimensi teknologi itu dipandang akan mengubah sistem produksi media. Akan tetapi, sebagian pihak memandang bila nilai-nilai yang terdapat dalam jurnalisme, seperti kebenaran, akurasi, imparsialitas, dan keberagaman, masih menentukan kualitas jurnalisme. Menyiapkan jurnalis supaya bisa lebih melek teknologi, berkompeten dan berkeahlian supaya bisa mengambil peluang dalam model-model komputasional dimana perangkat lunak di dalamnya telah mengambil peranan yang dominan. Perubahan kultur organisasi akibat dari pengaruh teknologi media juga perlu mendapatkan perhatian selain kompetensi wartawan dalam beradaptasi dengan digitalisasi. Diseminasi informasi sebanyak mungkin dengan multiplatform membuat konten perlu terus menerus diperbaharui (Marhamah & Fauzi, 2021).

Solusi lain yang bisa ditawarkan yaitu dengan melakukan konvergensi media di era revolusi industri 4.0. Konsekuensinya, harus ada penyiapan sumber daya manusia yang memadai, untuk penguasaan teknologi tersebut. Selain itu, dalam konvergensi media teknologi baru dan canggih identik dengan kebutuhan akan modal untuk bisa memiliki dan menggunakan teknologi baru tersebut. Artinya, jauh-jauh hari harus ada penggalangan modal, untuk menyambut era konvergensi media yang dinamis (Ikhwan, 2020).

Para jurnalis dan pengelola media massa juga dituntut terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk memahami dan menerapkan teknologi yang terus berkembang seperti, Artificial Intelligence atau biasa disebut kecerdasan buatan, realitas virtual, analitik data, dan platform digital lainnya.

3. Solusi Tantangan Berita Hoaks

Jurnalisme bermutu di era digital berlandaskan pada kode etik jurnalistik dan dipadukan elemen jurnalisme yang telah dirumuskan. Prinsip pertama dari jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran adalah tujuan dari jurnalisme dan intisari dari sebuah berita, sekalipun untuk mencapainya sangat sulit serta membutuhkan proses. Berita pertama kemudian disusul dengan berita selanjutnya sehingga menjadi lengkap dan memberikan pemahaman kepada khalayak tentang kebenaran yang terjadi. Seorang jurnalis harus memegang teguh nilai kebenaran dari berita, karena kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Seorang jurnalis dalam memaparkan fakta harus dalam sebuah laporan yang adil dan terpercaya serta transparansi sumber berita sehingga khalayak dapat menilai kebenaran informasi yang disajikan. Kebenaran jurnalistik merupakan suatu proses yang dimulai dengan profesionalitas dalam pengumpulan dan verifikasi fakta (Marhamah & Fauzi, 2021). 

Bila sudah seperti itu, maka peranan dan kedudukan jurnalisme islami kian bersinar di masa mendatang. (*)

News Feed