English English Indonesian Indonesian
oleh

Duet Maut Mega Koruptor

Korupsi adalah persoalan yang tak ada ujung pangkalnya bagai kisah 1001 malam yang selalu bersambung dari episode ke episode. Tidak sedikit diantara kita sudah dihinggapi perasaan jemu, malu, kesal, hingga muak, seakan bersatu dan campur aduk dalam benak pikiran kita setiap kali menyaksikan tayangan media tentang korupsi. Dua minggu terakhir ini, kita menyaksikan drama peradilan yang menyidangkan Duet Maut Mega Koruptor yaitu Gubernur Papua: Lukas Enembe (LE) dan Menteri Komunikasi dan Informatika: Jhony G. Plate (JGP).

Uniknya karena duet maut tersebut diadili oleh Pengadilan yang sama yaitu Pengadilan Tipikor Jakarta, meski dituntut oleh Jaksa yang berbeda. Jika LE ditangani langsung oleh KPK maka JGP dikelola oleh Kejaksaan Agung. Hal ini sangat prestisius karena sejak KPK terbentuk, baru kali ini Kejagung berani membongkar mega skandal korupsi yang melibatkan pejabat tinggi setingkat Menteri. Hal ini dapat dimaklumi karena Kejagung merupakan lembaga penegak hukum di bawah taktis langsung Presiden, sehingga wajar jika menyasar seorang Menteri perlu izin dulu dari Presiden.

Ironisnya karena kasus yang menyeret dua bintang birokrat ini telah menilep fulus rakyat dengan jumlah yang sangat fantastis. Jika LE menerima suap lebih dari 40 M, maka JGP mengangkangi kekayaan negara lebih dari 17 M. Jika LE sering berjudi di berbagai kasino Singapura dengan menggunakan modal dari APBD Papua, maka JGP berpura-pura menjadi seorang Filantropi dengan menyumbang dana hingga ratusan juta kepada korban banjir atau lembaga keagamaan di kampung halamannya, hitung-hitung sebagai investasi politik. Tragisnya karena aksi pencitraan JGP itu, bukan berasal dari kehalalan kantong pribadi, tetapi bersumber dari hasil pemerasan melalui sejumlah perusahaan yang memenangkan tender proyek BTS 4G.

Tak hanya itu, setiap kali melakukan perjalanan dinas ke luar negeri, JGP selalu minta uang saku hingga lima ratus juta dari rekanan proyek BTS 4G, sedangkan uang SPPD diterima secara utuh dengan merekayasa seolah-olah habis terpakai. Hal serupa juga dilakukan LE, dengan memeras perusahaan yang menjadi pelaksana proyek Pemerintah Papua. Sebagian hasil korupsi LE, konon disamarkan sebagai perpuluhan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Papua oleh KKB. Banyak orang Papua yang sukses dalam berbagai bidang, dalam atau luar negeri bersimpati bahkan mendukung dengan diam-diam kemerdekaan Papua dengan berpura-pura menggunakan tameng Merah Putih meski dalam hatinya adalah bintang kejora.

Parahnya karena bintang duet maut ini, sama-sama menggunakan taktik kancing yang mencoba masuk ke dalam lubang untuk bersembunyi padahal mata publik jauh lebih awas dan tak mudah dikelabui. JGP menyangkal semua tuduhan dengan merasa di fitnah dan dicari-cari kesalahannya, padahal fakta yang tak terbantahkan mega proyek BTS 4G dengan anggaran 10 T, namun proyek mangkrak dengan kerugian 8 T berdasarkan hasil audit BPK.

LE malah mencak-mencak dalam persidangan yang menolak semua dakwaan JPU, padahal sejumlah rekening LE yang disita dan dibekukan oleh KPK melalui hasil penelusuran PPATK menemukan fakta bahwa LE mewajibkan semua perusahaan yang mengerjakan proyek pemerintah Papua agar bersedia memberi commitment fee 10%. Lalu bagaimana dengan pencantuman nama LE pada Stadion terbesar di Jayapura, jika akhirnya LE terbukti sebagai duet maut mega korupsi? mengapa pula nama LE yang masih hidup diabadikan dalam landmark building, padahal lazimnya hanya berlaku pada orang yang telah tiada. (*)

News Feed