English English Indonesian Indonesian
oleh

Quo Vadis Makassar Kota Dunia

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf        Tenaga Pengajar FEB Unhas dan Ketua KPPU RI 2015 – 2018

Perekonomian kota Makassar mengalami deindustrialisasi prematur yang ditandai oleh pergeseran struktur ekonominya dari kota berbasis manufaktur ke perdagangan, padahal kegiatan manufakturnya belum mapan. Ibarat seseorang yang berusaha menjadi kaya, berstatus pemilik pabrik, namun tidak lama, kembali menjadi hanya sebagai pedagang.  

Fenomena ini dapat diamati pada data kontribusi sektoral terhadap perekonomian kota Makassar tahun 2010 yang didominasi oleh sektor manufaktur sekitar 21 persen, menurun menjadi 18,61 persen tahun 2022. Sebaliknya, kontribusi sektor perdagangan meningkat dari 15 persen tahun 2010 menjadi 20,10 persen tahun 2022. 

Fenomena deindustrialisasi prematur sejalan dengan tingginya pertumbuhan sektor perdagangan kota Makassar tahun 2011 yang mencapai 14,94 persen dan 11,82 persen tahun 2019. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sektor manufaktur yang hanya 6,66 persen tahun 2011 dan 8,97 persen tahun 2019.  

Sementara jika dibandingkan dengan 4 kota besar lainnya, yaitu Medan, Bandung, Surabaya dan Semarang, maka kota Surabaya merupakan kota terbesar dengan Produk Domestik Regional Brutho (PDRB) 554,509 trilyun rupiah dan terkecil kota Makassar dengan PDRB 178,333 trilyun rupiah. Ukuran perekonomian kota Makassar hampir sama dengan kota Semarang yang nilainya sekitar 189,256 trilyun rupiah.

Pengalaman Singapura

Merujuk pada data perkembangan ekonomi kota Makassar, ibarat mobil, pemimpinnya harus segera tancap gas pindah ke gear (gigi) lebih tinggi. Akselerasi dilakukan dengan cara-cara baru yang out of the box. Pemerintah kota Makassar bisa belajar dari kisah sukses Singapura mentransformasi ekonominya.   

Pengalaman Lee Kuan Yew yang biasa dipanggil Mr. Lee, founding father negara kota Singapura dapat menjadi rujukan. Mr. Lee mentransformasi Singapura dari negara dunia ketiga yang miskin menjadi negara maju yang kaya. 

Modal utamanya adalah letak geografisnya yang berada di jalur pelayaran internasional, Selat Malaka. Singapura tidak memiliki SDA, mereka hanya memiliki lahan pertanian seluas lapangan Karebosi, Makassar di jantung pulau Singapura. 

Pemimpin Singapura memiliki dua opsi, yaitu mempertahankan lahan pertanian yang jika dikelola tidak akan mampu memenuhi kebutuhan bahan makanan penduduknya. Atau mengubah lahan pertanian menjadi kawasan industri. Namun pilihan ini juga sulit mengingat Singapura tidak memiliki pasar domestik karena jumlah penduduknya sangat kecil. 

Mr. Lee yang visioner memilih mengalih fungsi lahan pertanian yang sempit menjadi kawasan industri. Dari sinilah proses transformasi ekonomi Singapura dimulai oleh Mr. Lee dengan dibantu beberapa orang ekonom. Langkah pertama yang dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga Singapura menjadi kota dunia, sebagai destinasi investasi utama di Asia.

Proses transformasi Singapura dimulai dari hal sederhana, yaitu: membangun disiplin warga untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat, tidak membuang permen karet di sembarang tempat, tidak meludah di sembarang tempat, tidak berambut gondrong, budaya antri, tertib berlalu lintas, rasa aman, dan tidak mentolerir vandalisme. Tujuannya, menciptakan kenyamanan untuk menjadikan Singapura sebagai regional hub bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di Asia Pasifik.

Semua ruang kosong di Singapura juga disulap menjadi taman yang hijau. Tidak heran jika di Singapura, seperti yang dapat dibaca dalam buku Mr. Lee, Transforming The Singapore From The Third World to The First, terdapat istilah yang sangat populer, yaitu “keluar rumah masuk taman”. Artinya, semua area kosong di luar rumah (apartemen) telah didisain menjadi taman yang hijau dan asri. 

Kisah sukses lain dari Singapura adalah ketersediaan infrastruktur yang terintegrasi. Angkutan publik ditata untuk menekan penggunaan mobil pribadi. Alhasil, standar kenyamanan dan keamanan transportasi publik Singapura sudah setara dengan kota-kota besar dunia lainnya, seperti Tokyo, Paris dan London.  

Re-lesson and Re-learn

Lalu apa yang bisa dilakukan pemimpin kota Makassar dengan berkaca pada pengalaman Singapura? Pembangunan kota dimulai dari hal paling mendasar, yaitu transformasi kultur masyarakat sehingga berorientasi pada pola hidup bersih, tertib, aman, menghargai waktu, rapih, beretos kerja tinggi, dan hijau. Harapannya, terwujudnya pola dan standar hidup yang setara dengan masyarakat di negara maju, seperti Singapura, Seoul dan Jepang. 

Sosialisasi Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) untuk menjadi pedoman warga dan investor dari luar kota Makassar dalam membangun. Hal ini penting mengingat ciri yang paling menonjol dari semua kota besar dunia adalah pemisahan yang jelas antara pusat bisnis, pemukiman, pekantoran, pendidikan, sport centre dan lainnya. 

Sebagai contoh, penetapan fungsi ruang sebagai cagar budaya dengan bangunan-bangunan yang dilindungi akan mempertahankan ciri khas kota dengan arsitektur tradisionalnya. Ketegasan terhadap perlindungan cagar budaya dapat dilihat di Washington dan Paris, dimana bangunan kedutaan besar Indonesia di kedua kota di atas yang status kepemilikannya milik sendiri, tetapi tidak bisa dirubah bentuk dan warnanya tanpa izin dari dewan kota.

Mempercepat transformasi infrastruktur dasar kota Makassar sehingga terhindar dari penyakit macet dan semrawut yang menjadi ciri khas kota-kota di Indonesia. Dalam lima tahun ke depan, mulai membangun transportasi publik massal yang nyaman dengan multi rute sehingga memberi insentif bagi masyarakat untuk meninggalkan penggunaan mobil pribadi. 

Penyediaan Mass Rapid Transport (MRT) dapat menjadi pilihan, seperti pengalaman kota Seoul, Tokyo, New Delhi, Amsterdam, Kuala Lumpur, dan Shanghai. Dimana moda transportasi massal paling lengkap terdapat di Amsterdam mulai dari MRT, bus hingga angkutan sungai yang multifungsi sebagai sarana penunjang pariwisata. 

Akhirnya, berkaitan dengan pembiayaan, pemerintah kota Makassar perlu berkaca pada kisah sukses pemerintah New Delhi, India yang berhasil membangun berbagai fasilitas publik kota dengan pola Public Private Partnership (PPP) paling sukses di dunia. Atau mengambil hikmah dari pengalaman Seoul yang menggabungkan pembiayaan pembangunan infrastruktur kota dengan pola pembiayaan murni pemerintah dan murni swasta. (*)

News Feed