English English Indonesian Indonesian
oleh

PSM dan Pemimpin Empatik

Ciri pemimpin sejati, selalu ikut merasakan denyut nadi yang ada di masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan kematangan pikiran dan emosional dalam membaca dan memetakan keinginan publik. Olehnya itu, pemimpin yang cerdas membaca teks tidak tertulis sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan, tidak perlu janji-janji dan pepesan kosong tak bertepi.

Jika ada pemimpin di depan mata kita selalu berkontestasi wacana, padahal kenyataannya semua janji yang disampaikan hanya lemparan wacana. Seyogianya, pemimpin dalam berbicara di depan publik, melibatkan empatiknya sehingga tokoh tersebut dicintai rakyatnya. Agar penilaian daur ulang yang dimodifikasi maka berhenti selalu berwacana dengan pepesan kosong.

Teori Dramaturgi diisyaratkan Erving Goffman (1959) agar pemimpin harus cerdas membaca bahasa yang tersirat dan tersurat berasal dari rakyatnya agar pemimpin tersebut tidak buta hati (baca kecerdasan emosional). Hanya pemimpin yang bodoh dan tidak tahan diri dan pikiran membaca tanda bahasa simbol sebenarnya.

Terlebih lagi, dalam perspektif teori Erving Goffman, melihat sosok manusia dan pemimpin adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal (baca pemimpin) berbeda dengan binatang karena mempunyai kemamuan berpikir, bisa mempelajari dan mengubah makna dan simbol dalam melakukan tindakan dan interaksi. Apa yang disampaikan Goffman bahwa seorang pemimpin dengan daya nalar yang baik dalam interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya.

Maka teks yang dilemparkan ke publik seyogianya dianggap teather atau panggung sebuah drama. Hanya pemimpin yang mampu memainkan lakon apik dan empatik akan terjalin komunikasi efektif dan “understanding”. Teori ini menunjukkan kepada kita, bahasa dan simbol yang disampaikan seorang pemimpin akan bermakna ganda dan bias jika tidak sesuai referensi khalayak. Sebagai contoh, jika ada pemimpin mengatakan bahwa: “saya ini pencinta PSM sejati” padahal dalam sikap dan tindakan telah terjadi konsistensi yang inkonsistensi sikap perilakunya, sehingga akan khalayak tidak mempercayainya teks yang disampaikan.

Lakon dimainkan, baik melalui media mainstream dan media sosial terkadang interpretasi publik cukup “mengerikan” dimana tokoh tersebut berupaya mengelabui dengan “serangan balik” melalui media sosial yang sebenarnya tidak sesuai fakta. Bahkan “serangan balik atau pembelaan diri” yang dilakukan pemimpin tersebut menimbulkan efek ganda yang bermakna tokoh tersebut “telah menikam dirinya” akibat efek balik. Maka dari itu, pemimpin seperti itu perlu belajar tentang hakikat opini publik, agar tidak terjerembat dari hukuman publik akibat ketidaktahuannya.

Sebaliknya, bagi pemimpin yang tahu dan paham membaca hati nurani keinginan publik termasuk pendukung PSM maniak, tentu penilaian positif akan muncul di pendukung dan pencinta PSM. Apalagi pemimpin tersebut telah menyiapkan tempat Stadion baik di Kota Parepare dan Kabupaten Gowa sebagai upaya simpatik dan empatik sehingga pemimpin tersebut sudah melibatkan sejak awal jatuh -bangun PSM, dan wajar saja keterlibatan pemimpin tersebut menjadi modal sosial untuk membangun trust di publik dan menjadikan pemimpin tersebut jadi pahlawan atas atensi terhadap PSM.

Apalagi dalam prinsip opini publik, simpati, dan empatik dalam memenangkan sebuah pertandingan akbar, maka menjadi social capital dan senjata utama untuk memenangkan pertandingan yang sebenarnya. Bravo PSM Makassar, pertunjukkan drama yang ditunjukkan dalam teori Dramaturgi telah memperlihatkan siapa pemimpin yang sesungguhnya? Ewako PSM. (*/)

News Feed