Ternyata di grup WA itu, tidak ubahnya pertemuan yang tampaknya ada kesamaan, tapi masing-masing membawa perbedaan: latar belakang pendidikan, profesi, suku, atau kecenderungan politik. Spirit yang bisa diambil dari perkumpulan model maya ini adalah motivasi untuk menjaga integrasi anggota.
Di dalam grup itu diajarkan untuk menjaga soliditas dengan tidak mengangkat issue yang sensitif dan bias bagi anggota grup yang lain, supaya tidak adanya anggota yang baper, berefek pada munculnya huru-hara group yang bisa menyebabkan tidak aktifnya beberapa anggota bahkan sampai keluar group.
Model grup WA sebenarnya duplikasi dari kecenderungan masyarakat kita untuk berkumpul, tetapi itu terwujud dalam bentuk perkumpulan maya, seiring dengan arus globalisasi.
Yang menarik adalah peluang mengkapitalisasi keberadaan perkumpulan baik di dunia nyata maupun di dunia maya untuk saling memberdayakan. Bahasa Nyai Badriah bukan hanya dipakai untuk membantu anggota grup yang “jatuh” tapi juga saling mendorong untuk “naik”. Bahkan bisa dipakai menguatkan integrasi dalam kehidupan berbangsa.
Betul, saya menduga kuatnya ketahanan Bangsa tidak terlepas dari budaya masyarakat kita untuk selalu berkumpul, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Psikologi orang suka berkumpul pasti menyukai soliditas. Psikologi orang suka berorganisasi pastinya memiliki tingkat kepekaan, solidaritas. Psikologi orang suka berkumpul pasti dibentuk oleh tradisi menyikapi keragaman.
Psikologi orang suka berkumpul pasti memiliki jiwa penolong dan suka berbagi. Bila di dunia nyata, suka saling mengirim takjil buka puasa, misalnya: Barongko atau Pisang Ijo, maka di dunia maya, yang dikirim adalah fotonya. (15/*)