“Banyak yang korban, diintimidasi, sudah banyak yang dipenjara bahkan dibunuh itu karena mereka mempertanyakan lahannya. Justru mereka yang jadi korban, sehingga kami ketakutan, dulu itu kejam, makanya sekarang kita tidak berani tanyakan dan sentuh itu lahan kami daripada ribut,” ungkapnya.
Sebelum dikuasai oleh perusahaan, ia menceritakan lahannya yang sekitar 2 hektare itu dulunya dimanfaatkan oleh sanak keluarga dan orang tuanya untuk berkebun jagung, wijen, tebu, pohon mangga hingga pohon kelapa.
“Namun sejak diambil perusahaan kita tidak bisa lagi manfaatkan. Tidak bisa kita kelola apalagi ambil hasilnya. Hanya ancaman terus yang kami dapatkan,” urainya.
Meski demikian, pada tahun 2017 pihaknya pernah diberi kesempatan mengelola lahannya selama dua tahun, itu waktu para serikat tani bersatu.
“Pernah dikelola dua tahun saja, atas nama serikat tani. Tetapi setelah itu diambil lagi sama perusahaan sampai sekarang,” jelasnya.
Bahkan kini, untuk melintasi lahannya sendiri sudah dihantui rasa takut, sapi-sapi miliknya pun kerap jadi bulan-bulanan petugas untuk diangkut ke dalam perusahaan apabila kedapatan melintasi areal lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan.
“Jadi di pondasi itu (sambil menunjuk) kalau dilintasi, lewat sedikit bisa diangkut kita ke dalam (perusahaan untuk diadili) karena disini ada pengawasannya yang selalu datang memantau, bahkan pernah saya ada empat ekor sapi saya terpaksa saya putus talinya karena sudah mau dibawa sama petugasnya itu,” ungkapnya.
Senada dengan itu, warga lainnya, DS (51) juga merasakan hal yang sama. Perempuan kelahiran Takalar ini tidak bisa berbuat banyak dan membantu suaminya untuk bercocok tanam di areal persawahannya lantaran sudah dikuasai lahan miliknya oleh perusahaan.