English English Indonesian Indonesian
oleh

Bentuk-bentuk Ketidak-Pantasan Pelayanan

Oleh : Muliyadi Hamid

Salah satu kewajiban pegawai dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah berprilaku sesuai dengan kepantasan. Hal ini diatur pada pasal 34 huruf “n” Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 2008 tentang Pelayanan Publik. Dengan demikian, aparatur birokrasi yang dalam tugasnya berprilaku sebaliknya (tidak pantas) dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran dalam bentuk mal-administrasi.

Masalahnya adalah indikator kepantasan atau ketidak-pantasan ini sangat mungkin bersifat personal atau sangat subjektif. Bagi seseorang sebuah peristiwa dinilai patas, sementara bagi orang lain kemungkinan bisa dinilai tidak pantas. Demikian pula bagi sebuah kelompok sosial tertentu bisa berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Kepantasan sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau komunitas dan kelompok sosial tertentu.

Meski demikian, sesungguhnya dalam masyarakat kita secara umum telah berkembang dan terbentuk nilai-nilai kearifan yang sudah disepakati sebagai prilaku yang tidak pantas. Nilai-nilai yang secara sosial telah bertumbuh menjadi sebuah keyakinan masyarakat. Bahkan telah berkembang menjadi standar etika yang memisahkan antara perilaku yang dinilai pantas dan yang tidak pantas.

Secara umum semua perilaku yang melanggar atauran-aturan formal, termasuk standar-standar dan prosedur pelayanan dapat dikategorikan sebagai prilaku tidak pantas. Demikian juga, prilaku yang tidak sesuai norma-norma etika, agama, dan norma-norma kesusilaan dapat digolongkan sebagai perilaku yang tidak pantas.

Seorang pegawai yang memberikan informasi tidak benar kepada masyarakat, menunda pelayanan, bersikap tidak ramah dapat digolongkan sebagai perbuatan yang tidak pantas dalam pelayanan. Mengharapkan imbalan, menggunakan barang-barang publik untuk kepentingan pribadi, mengabaikan atau penundaan yang tidak perlu juga merupakan bentuk ketidak-pantasan pelayanan.

Bentuk lain dari ketidak-pantasan dalam pelayanan publik bahkan ketika pelaksana mendahulukan pelayanan bagi orang-orang tertentu berdasarkan status sosial atau kedekatan personal. Mengabaikan atau tidak memperhatikan kondisi-kondisi khusus yang dialami pihak yang sedang dilayani, misalnya kaum lansia, difabel, atau wanita hamil dan sebagainya.

Membiarkan ruang pelayanan tidak tertata dengan baik, jorok, dan kurang nyaman. Atau menggunakan peralatan yang mengganggu kelancaran pelayanan, tidak menyediakan informasi tentang sistem dan prosedur pelayanan. Bahkan termasuk berbicara dengan rekan kerja tentang hal-hal diluar pelayanan saat seseorang membutuhkan pelayanan merubapakan bentuk-bentuk lain dari ketidak-pantasan dalam pelayanan publik. (*)

News Feed