English English Indonesian Indonesian
oleh

Politik Dua Kaki

SuarA : Nurul Ilmi Idrus

Akhir-akhir ini, saat atmosfer Pilpres semakin memanas, berembus istilah kiasan “politik dua kaki”. Kiasan yang berasal dari “berdiri di atas dua kaki” ini, meski dapat digunakan dalam hal lain, umumnya kiasan ini dikaitkan dengan dunia politik.

Politik dua kaki merupakan kiasan yang menggambarkan fenomena yang terjadi dalam kehidupan politik dan ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik kekuasaan. Sebagai bagian dari strategi politik, “politik dua kaki” bersifat eksklusif, tertutup, licik dalam memanfaatkan situasi.

Kenapa orang melakukan politik dua kaki? Ini karena pelaku “politik dua kaki” ingin memeroleh keuntungan dari siapapun yang berkompetisi. Salah satu ciri dari pelaku politik dua kaki adalah “bermain aman”, tak ingin terlihat terlalu condong ke satu kubu, seakan merangkul semua pihak, haus akan pencitraan, dan biasanya muncul sebagai pahlawan kesiangan. Pelaku “politik dua kaki” sangat berbahaya karena ia berwajah “teman”, tapi sesungguhnya ia adalah “musuh dalam selimut”.

Belakangan ini, Jokowi dituding sebagai pelaku “politik dua kaki”. Ini karena pilihan politik Jokowi yang tidak tegas, yakni antara memilih Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra) dan Ganjar Pranowo (kader PDIP) sebagai calon presiden. Namun, kemanapun kecondongan pilihan Jokowi, ini tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan politik, pilihan yang mana yang paling menguntungkan dirinya, terutama setelah tidak lagi menjadi presiden.

Namun, Jokowi diperhadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi, meskipun Jokowi adalah Presiden RI, di mata Megawati ia tetaplah petugas partai (PDIP), dan dengan demikian beliau harus tunduk pada pemimpin partai yang telah resmi mengusung Ganjar sebagai bakal calon presiden (bacapres). Di sisi lain, rumor yang terkait kenapa Jokowi memilih mendukung Prabowo, konon karena beliau merasa kecewa karena PDIP (termasuk Ganjar) tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam kaitan dengan ajang Piala Dunia U20, sehingga Indonesia gagal menjadi tuan rumah dan ini dianggap mencoreng citra baik Jokowi di dunia internasional.

Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, menilai bahwa kedekatan Jokowi dengan Prabowo memberikan berkah politik tersendiri bagi Prabowo. Kedekatannya Prabowo dengan Jokowi paling tidak meningkatkan elektabilitas Prabowo. Ini nampak, misalnya, dari hasil survei Indonesia Political Opinion (IPO) antara tanggal 5 dan 13 Juni 2023 yang mengindikasikan bahwa hasil simulasi tiga nama capres, Prabowo menempati urutan pertama dengan Raihan elektabilitas 37,2%, diikuti Anis (31,5%) dan Ganjar (26,8%).

Dari perspektif Jokowi mania, pembelokan dukungan mereka dari Ganjar ke Prabowo didasarkan pada pertimbangan realistis, bahwa Prabowo memiliki modal sosial untuk maju sebagai capres, pemimpin bernyali, pemimpin yang memiliki gagasan untuk Indonesia maju dan sejahtera, memiliki integritas dan jiwa kepemimpinan, memiliki loyalitas dan totalitas dalam bekerja dalam pemerintahan Jokowi, pemimpin yang menaruh kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, memiliki kemampuan diplomasi internasional, dan memiliki kemampuan untuk melanjutkan pembangunan yang telah dimulai oleh Jokowi. Dari sisi dukungan partai, Prabowo diusung oleh empat partai, yaitu: Gerindra, PKB, PAN, dan Golkar. Sementara Ganjar didukung oleh PDIP dan PPP, meski dukungan gemuk tidak menjamin tingginya elektabilitas.

Dengan berbagai modal sosial yang telah dimiliki Prabowo sebagai calon presiden, tidak mengherankan jika Jokowi dianggap atau melakukan “politik dua kaki” untuk menunjukkan bahwa ia tetap “loyal” pada partainya dan memiliki calon lain yang mungkin dianggapnya lebih mumpuni sebagai capres dan “lebih aman” bagi dirinya jika lengser sebagai presiden. Begitulah!

News Feed