English English Indonesian Indonesian
oleh

Pendanaan Partai Model Turki

OLEH: Faisal Djabbar, Pegawai KPK 2005 – 2021, Alumni Master Kebijakan Publik The Australian National University (ANU)

Indonesia dan Turki memiliki kesamaan dari sisi demografi, sejarah politik, dan level perkembangan demokrasi. Selain itu, Indonesia dan Turki merupakan negara demokrasi muslim yang stabil, memiliki sejarah keterlibatan militer dalam politik, dan dipandang sebagai pemimpin di wilayah regionalnya, sehingga membandingkan kedua negara dari sisi pembiayaan partai politik sangatlah berguna. 

Turki memutuskan untuk menyubsidi partai-partainya sebesar 90 persen dari keseluruhan pendapatan partai bersangkutan. Tahun 2011, misalnya, tiga partai di Turki mendapatkan total US$162 juta. Di tahun yang sama, seluruh partai di Indonesia hanya menerima US$1,1 juta. Singkatnya, partai-partai di Turki menerima 158 kali lipat dibandingkan partai-partai di Indonesia (Mietzner, 2013). 

Partai-partai di Turki mendapatkan 0.0004 persen dari pendapatan negara. Nilai ini dibagi-bagi untuk partai yang lolos parliamentary threshold (sebesar 10 persen) dan disesuaikan dengan jumlah suara yang didapatkan. Partai yang tidak lolos, namun mendapatkan lebih besar dari tujuh persen suara, juga mendapatkan subsidi walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit. Dalam tahun pilpres, dananya naik tiga kali lipat, sedangkan di tahun pilkada, dananya naik dua kali lipat. Di tahun tanpa pemilu atau pilkada, partai-partai di Turki mendapatkan total dana US$46 juta. 

Ada badan khusus di Turki yang mengawasi laporan keuangan partai. Badan ini ada di Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi). Badan ini berwenang untuk melakukan investigasi dan menerapkan sanksi (terdapat 44 pelanggaran antara tahun 1998 – 2006). 

Meskipun begitu, kekurangan dari pola pendanaan partai di Turki ini adalah sulitnya muncul partai baru karena susah untuk berkompetisi dengan partai lama yang sudah mapan. Patut dicatat, bahwa pembiayaan dana partai oleh negara hanya dapat mengurangi korupsi dan bukan menghilangkannya sama sekali. Di Turki masih tercatat adanya praktik korupsi. Skor Turkey sedikit lebih baik dibanding Indonesia, yaitu pada rangking 101 dengan skor 36 (Corruption Perceptions Index, 2022). 

Ada dua manfaat penerapan model Turki. Satu, insentif bagi politisi untuk meningkatkan pendapatan negara, karena sumber utama partainya berasal dari pendapatan negara. Dua, mengatasi kontroversi kenaikan reguler subsidi. Dengan subsidi yang kecil untuk partai (seperti di Indonesia) pelaksanaan audit oleh BPK menjadi kurang ekonomis, karena biaya audit lebih besar daripada nilai yang diaudit. 

Di Indonesia, bila model Turki dipakai, akan ada potensi sejumlah partai yang menentang kebijakan peningkatan subsidi pendanaan partai oleh pemerintah. Partai menentang peningkatan subsidi karena akan terganggu kepentingannya untuk menjadikan partai politik tetap oligarkis. Sedangkan argumen sejumlah kelompok masyarakat sipil (Non-Government Organization/NGO) yang menolak peningkatan subsidi pemerintah berakar pada ketidakpercayaan mereka pada partai. 

Untuk mengatasi argumen di atas, kenaikan subsidi pendanaan partai oleh pemerintah bisa dilakukan berkala. Misalnya, Rp2.000 atau Rp2.500 dahulu, lalu dilakukan evaluasi. Indikator efektivitas subsidi adalah jumlah kepemimpinan oligarkis partai, frekuensi korupsi terkait dana partai, dan jumlah orang non-partai yang menjabat jabatan publik karena membeli nominasi. Setelah dua atau tiga tahun dan terjadi perbaikan, publik dapat diyakinkan instrumen ini bermanfaat. 

Transparansi keuangan partai masih sulit diterapkan, karena aturan belum mengatur adanya publikasi laporan pemasukan dan pengeluaran partai (kecuali dana dari pemerintah), memasukkan laporan penerimaan sumbangan kepada individual kader dalam laporan keuangan partai, memasukkan laporan sumbangan dari kader internal partai (terutama pengurus yang membiayai hampir seluruh mesin partai), dan pelaksanaan audit investigatif bila ada indikasi kuat pelanggaran. 

Untuk itu, diperlukan lima agenda perubahan. Pertama, fokus pada pembatasan pengeluaran ketimbang pembatasan pemasukan, karena lebih mudah dideteksi dan bisa memicu pengurangan biaya politik. Kedua, membentuk badan khusus yang menginvestigasi dan memberikan sanksi (seperti Turkey’s Constitutional Court). 

Ketiga, regulasi yang memerintahkan publikasi daring (online), sehingga masyarakat turut mengawasi. Keempat, mengganti sistem audit formalistik dengan audit investigatif saat ada penyimpangan. Kelima, mengintegrasikan donasi partai dan kampanye dengan sistem perpajakan dengan memberi insentif pengurangan pajak bagi donatur yang menyumbang secara terbuka/legal.

News Feed